Selasa, 18 Maret 2014

MEDITASI KURBAN MISA KUDUS


"Ketika imam mencium altar, ia mencium Kristus, *dengan kesetiaan iman*, bertentangan dengan ciuman pengkhianatan oleh Yudas." Mengandung makna, imam membuat penebusan bagi pengkhianatan Yudas.

"Imam membaca Introit mewakili Kristus yang dituduh oleh Hanas dan dihujat."

"Imam pergi ke tengah altar dan mengatakan Kyrie Eleison (Tuhan kasihanilah) mewakili Kristus dibawa ke Kayafas dan tiga kali disangkal oleh Petrus."

"Imam mengatakan 'Dominus vobiscum' (Tuhan sertamu) mewakili Kristus melihat Petrus dan mempertobatkannya."

"Imam mengatakan 'Orate fratres' (Marilah berdoa) mewakili Kristus yang ditunjukkan oleh Pilatus kepada orang banyak dengan kata-kata 'Ecce Homo' (Inilah Anak Manusia)"

"Imam berdoa dengan suara rendah mewakili Kristus yang dihina dan diludahi."

"Imam memberkati roti dan anggur mewakili Kristus yang dipaku ke kayu salib."

"Imam mengangkat hosti mewakili Kristus yang diangkat diatas kayu salib."

"Imam pergi ke sisi Epistola dan berdoa menandakan bagaimana Yesus dibawa menghadap Pilatus atas tuduhan palsu."

"Imam pergi ke sisi Injil, di mana ia membaca Injil, menandakan bagaimana Kristus dikirim dari Pilatus kepada Herodes, dan diejek dan dicemooh oleh Herodes."

"Imam pergi kembali dari sisi Injil ke tengah altar - hal ini menandakan bagaimana Yesus dikirim kembali dari Herodes ke Pilatus."

"Imam membuka penutup piala, mengingatkan bagaimana Kristus ditelanjangi untuk pencambukan."

"Imam mempersembahkan roti dan anggur, menandakan bagaimana Yesus terikat di pilar dan dicambuk."

"Imam mencuci tangannya, menandakan bagaimana Pilatus menyatakan bahwa Yesus tidak bersalah dengan mencuci tangannya."

"Imam itu menutupi piala setelah Persembahan mengingatkan bagaimana Yesus dimahkotai duri."

"Imam memecah dan memisahkan Hosti mewakili Kristus memberikan nyawa-Nya."

"Imam mengucapkan Agnus Dei (Anak Domba Allah) mewakili Kristus yang diakui di kayu salib sebagai Anak Allah oleh banyak hadirin."

"Imam mengucapkan Injil Terakhir, yang adalah kata-kata pertama dari murid yang dikasihi St. Yohanes, menandakan pengutusan para Rasul ke seluruh bagian dunia untuk memberitakan Injil dan melestarikan Gereja Kudus-Nya untuk selama-lamanya."

Diambil dari "Gereja Katolik: Satu-satunya Gereja Sejati Kristus" oleh Catholic Education Company, New York, halaman 551.

Dari Kalvari dan Misa, oleh Fulton J. Sheen
Terlalu banyak dari kita mengakhiri hidup kita, tetapi hanya sedikit dari kita melihatnya selesai. Kehidupan berdosa mungkin berakhir, tapi hidup yang penuh dosa tidak pernah menjadi hidup yang selesai .

Tuhan kita menyelesaikan pekerjaan-Nya, tapi kita belum menyelesaikan pekerjaan kita. Dia menunjukkan jalan yang harus kita ikuti. Dia meletakkan Salib diakhir, tapi kita harus mengambilnya. Dia menyelesaikan Penebusan lewat tubuh fisik-Nya, tapi kita belum menyelesaikannya dalam Tubuh Mistik -Nya .

Dia telah menyelesaikan Kurban Kalvari; kita harus menyelesaikan Misa.

Sabtu, 01 Maret 2014

Skisma Timur - Adrian Fortescu


Berikut adalah terjemahan dari Catholic Encyclopedia: Eastern Schism (http://www.newadvent.org/cathen/13535a.htm )

Skisma Timur

Sejak masa Diotrephes (3Yoh 1:9-10) telah terjadi skisma-skisma secara berkelanjutan, yang paling banyak adalah di Timur. Arianisme menyebabkan sebuah skisma yang besar; skisma pihak Nestorian dan Monophysite masih berlangsung. Namun yang dimaksudkan "Skisma Timur" biasanya adalah pertikaian memprihatinkan yang menimbulkan perpisahan dengan kebanyakan umat Kristen Timur, skisma yang memunculkan Gereja yang terpisah yang disebut "Gereja Orthodoks."


I. PERSIAPAN YANG LAMA BAGI TERJADINYA SKISMA

Skisma Timur tidak bisa dianggap sebagai akibat dari satu buah pertikaian. Tidaklah benar bahwa setelah perdamaian sempurna berabad-abad, lalu karena satu perselisihan, hamper setengah kekristenan jatuh. Peristiwa seperti itu pastilah tidak ada duanya dalam sejarah, kecuali ada suatu bidaah besar. Sementara pada perselisihan yang menimbulkan Skisma Timur, pada awalnya tidak ada ke-bidaah-an dalam pertikaian yang terjadi, ataupun ada ketidaksetujuan yang tak ada harapan untuk terselesaikan mengenai Iman. Kasusnya adalah sebuah skisma murni, sebuah perpecahan persekutuan bersama yang diakibatkan oleh kemarahan dan perasaan tidak suka, bukan karena teologi yang berlawanan. Jikalau sebelumnya semua baik-baik saja maka tidaklah mungkin kalau ratusan uskup tiba-tiba memecahkan diri dari persekutuan dengan kepala mereka. Skisma besar tersebut (ie. Skisma Timur) adalah buah dari proses yang gradual [catatan DeusVult: "gradual" = "meningkat atau bertambah dengan derajat yang reguler dan secara terus menerus"]. Penyebab awalnya harus dicari berabad-abad sebelum ada kecurigaan akan terjadinya skisma. Ada sejumlah skisma sementara yang mengendorkan ikatan persekutuan dan mempersiapkan jalan bagi terjadinya Skisma Timur. Dua perpecahan besar (dilakukan Photius dan Michael Caerularius) yang diingat sebagai asal-muasal dari keadaan sekarang ini, telah telah diperbaiki setelah kejadiannya. Secara lebih tepat skisma yang terjadi pada saat ini bisa dilacak saat pihak Timur menolak Konsili Florence pada 1472. Jadi, meskipun nama Photius dan Caerularius memang dapat dikaitkan dengan bencana skisma, karena pertikaian dengan keduanya merupakan unsur utama dari cerita mengenai Skisma Timur, namun tidak boleh dipikirkan bahwa mereka adalah penyebab skisma satu-satunya ataupun penyebab skisma yang pertama-tama. Kalau kita mengelompokkan cerita mengenai asal-muasal Skisma Timur dengan memulai dari masa Photius dan masa Caerularius maka kita harus menjelaskan penyebab-penyebab awal yang mempersiapkan terjadinya peristiwa tersebut (ie. peristiwa yang berkenaan dengan Photius dan peristiwa yang berkenaan dengan Caerularius), dan kita harus mencatat bahwa setelah terjadinya kedua peristiwa tersebut ada kesatuan sementara.

Penyebab awal dari semuanya adalah pengasingan gradual antara Timur dan Barat. Secara pokok pengasingan ini tidak terelakkan. Masyarakat Timur dan Barat mengelompokkan diri kepada dua pusat yang berbeda sebagai pusat langsung. Mereka menggunakan ritus yang berbeda dan mempunyai bahasa yang berbeda. Kita harus membedakan posisi Paus sebagai seorang kepala kasat mata atas seluruh kekristenan dari tempatnya sebagai Patriakh Barat. Posisi tersebut dan pendapat bahwa semua uskup setara dalam jurisdiksi adalah dua hal yang sama sekali tidak diketahui pada masa Gereja awal. Sejak awal kita menemukan sebuah hierarkhi ber-gradual dari Uskup-uskup metropolitan [sekarang disebut "Uskup Agung"], exarches [bentuk plural dari "exarch" yang berarti metropolitan alias Uskup Agung yang yurisdiksinya melampaui keuskupannya] dan primat [yaitu uskup yang mempunyai otoritas superior tidak hanya atas uskup-uskup dalam provinsinya, seperti yang dipunyai seorang metropolitan alias Uskup Agung, tapi juga otoritas atas beberapa provinsi dan beberapa metropolitan]. Kita sejak awal kita menemukan gagasan bahwa seorang uskup mewarisi kewibawaan pendiri tahtanya, sehingga uskup yang merupakan pengganti Rasul mempunyai hak dan keistimewaan khusus [ie. privilege]. Adanya hirarkhi yang gradual ini penting untuk menjelaskan posisi Paus. Dia bukanlah superior langsung dari setiap uskup; dia adalah kepala dari sebuah organisasi kompleks dan detail, bagaikan puncak dari sebuah pyramid yang bersusun meruncing. Pemikiran umat Kristen awal adalah bahwa para patriakh adalah kepala-kepala kekristenan; lalu lebih lanjut para umat Kristen tahu bahwa kepala Patriakh berada di Roma. Namun kepala langsung tiap-tiap Gereja adalah para Patriakh. Setelah Konsili Chalcedon (451) kita harus menghitung lima ke-patriakh-an: Roma, Constantinople, Alexandria, Antiokia dan Yerusalem.

Perbedaan antara Timur dan Barat, pertama-tamanya, adalah bahwa Paus di Barat bukan hanya kepala imam tertinggi, tapi juga patriakh local. Bagi umat Kristen Timur dia adalah seorang otoritas yang jauh dan asing, tempat banding terakhir bagi pertanyaan-pertanyaan serius, setelah patriakh-patriakh mereka sendiri tidak mampu menjawabnya. Namun bagi umat Latin di Barat, dia adalah kepala langsung, otoritas langsung atas metropolitan-metropolitan [ie.uskup agung – uskup agung] mereka, banding pertama dari uskup-uskup mereka. Sehingga semua kesetiaan di Barat langsung menuju ke Roma. Roma adalah Bunda Gereja adalam banyak artian, adalah karena misionaris yang dikirim dari Romalah Gereja-Gereja local Barat didirikan. Sebaliknya kesetiaan umat Kristen Timur pertama-tama mengarah ke patriakh mereka sendiri, sehingga selalu ada bahaya terbaginya rasa kesetiaan kalau sang patriakh bertikai dengan Paus. Hal ini tidak terjadi di Barat. Oleh karena itu, kejatuhan dari ratusan uskup Timur, kejatuhan jutaan umat Kristen sederhana, bisa dilacak oleh skisma yang dilakukan para patriakh. Bila keempat patriakh Timur menyetujui suatu tindakan maka bisa disimpulkan bahwa metropolitan-metropolitan [ie. uskup agung - uskup agung] dan uskup-uskup mereka akan mengikuti para patriakh dan bahwa romo-romo dan umat-umat akan mengikuti uskup-uskup mereka. Jadi organisasi Gereja, dalam satu cara, telah mempersiapkan landasan bagi sebuah kontras (yang mungkin akan menjadi suatu rivalitas) antara patriak pertama di Barat bersama dengan pengikut Latinnya yang luas, dan dengan para Patriakh Timur dengan pengikut mereka.

Hal lebih lanjut yang patut diketahui adalah perbedaan ritus dan bahasa. Masalah ritus mengikut kepada suatu ke-patriakh-an, dan hal ini menciptakan suatu perbedaan yang dengan mudah dipahami oleh umat Kristen sederhana. Seorang awam Syria, Yunani atau Mesir mungkin tidak memahami menenai hokum kanon yang berkenaan dengan para patriakh, namun dia tidak mungkin tidak menyadari bahwa seorang uskup atau romo Latin yang kebetulan sedang bepergian merayakan Misteri Kudus dalam cara yang sangat aneh, dan kemudian me-label uskup/romo latin tersebut sebagai orang asing (yang mungkin mencurigakan). Sementara itu di Barat, Ritus Roma pertama-tama mempengaruhi [peribadatan umat], lalu kemudian menggantikannya. Sementara di Timur secara gradual terjadi hal yang sama berkenaan dengan Ritus Byzantine.. Jadi kita punya bibit atas dua kesatuan. Tidak diragukan lagi kedua belah pihak paham bahwa ritus yang lain merupakan cara yang sah dalam merayakan misteri yang sama, namun perbedaan yang ada membuat sulit pengucapan doa bersama. Kita melihat bahwa perkara ini merupakan sebuah perkara yang penting dalam sejumlah tuduhan yang berkenaan dengan masalah-masalah ritual yang diajukan oleh Caerularius ketika dia mencari-cari dasar untuk pertikaian.

Bahkan detail atas bahasa merupakan sebuah unsur penyebab perpisahan [antara Barat dan Timur]. Memang benar bahwa Timur tidak pernah seluruhnya terpengaruh budaya hellenistik sebagaimana Barat pun tidak pernah sepenuhnya terpengaruh budaya Latin. Meskipun demikian, Yunani memang telah menjadi bahasa internasional di Timur. Pada konsili-konsili di Timur semua uskup berbicara bahasa Yunani. Jadi sekali lagi kita mempunyai dua kesatuan dalam hal bahasa — Yunani bagi Timur dan Latin bagi Barat. Sulit untuk membayangkan bagaimana detail mengenai bahasa ini menjadi sebuah sebab dari pengasingan, namun memang tidak diragukan lagi banyak kesalahpahaman timbul dan berkembang hanya karena orang-orang tidak bisa memahami satu sama lain. Karena saat perselisihan-perselishan ini timbul, masih sangat sedikit orang yang mampu berbahasa asing. Baru ketika jaman Renaissance timbul-lah masa dimana tata bahasa dan kamus-kamus yang mempermudah [pembelajaran bahasa asing]. St Gregorius I (d. 1604) merupakan seorang duta kepausan di Constantinople, namun tampaknya dia tidak mempelajari bahasa Yunani; Paus Vigilius (540-55) menghabiskan delapan tahun yang tak bahagia di Constantinople namun dia tidak pernah belajar bahasa Yunani. Photius merupakan seorang pelajar dengan pengetahuan mendalam pada jamannya, namun dia tidak paham Latin. Ketika Leo IX (memerintah 1048-54) menulis dalam bahasa Latin kepada Peter III dari Antiokia, Peter III terpaksa menyerahkan surat tersebut ke Constantinople untuk mengetahui isinya. Kasus-kasus tersebut terjadi secara berkelanjutan dan membingungkan semua hubungan Timur dan Barat. Pada konsili-konsili, duta-duta kepausan memberi sambutan kepada para bapa konsili dalam bahasa Latin dan tidak seorang pun yang memahami mereka; ketika konsili berjalan dengan menggunakan bahasa Yunani sebagai bahasa pengantar, para duta kepausan pun bertanya-tanya apa yang terjadi. Jadi muncul kecurigaan dari kedua belah pihak. Penerjemah terpaksa dipanggil; namun apakah versi mereka bisa dipercaya? Kaum Latin, khususnya, punya kecurigaan yang sangat dalam atas rancangan kaum yunani dalam perkara ini. Para duta diminta untuk menandatangani dokumen yang mereka sendiri tidak paham atas dasar jaminan bahwa tidak ada satupun [dalam dokumen tersebut] yang mengkompromi [posisi kepausan]. Dan hal-hal kecil membuat begitu banyak perbedaan. Contoh yang paling terkenal, bertahun-tahun kemudian, adalah dekrit [Konsili ekumenis] Florence dan bentuk-bentuk kath on tropon, quemadmodum, menunjukkan seberapa banyak kebingungan yang bisa disebabkan oleh penggunaan dua bahasa.

Gabungan penyebab-penyebab tersebut menghasilkan dua bagian kekristenan, Timur satu bagian dan Barat satu bagian. Masing-masing terbedakan dari yang lainnya dalam banyak cara. Penyebab-penyebab tersebut memang tidaklah cukup untuk [dijadikan penyebab] atas perpecahan dua bagian tersebut; hanya saja, yang bisa kita catat adalah adanya suatu kesadaran akan keberadaan dua entitas, tertorehkannya suatu garis batas untuk pertama kali, dimana rivalitas, kecemburuan, kebencian bisa dengan mudah memotong tepat digaris batas kedua pihak.


II. PENYEBAB PENGASINGAN
Rivalitas dan kebencian muncul karena beberapa sebab. Tidak diragukan lagi sebab pertama, dan merupakan akar dari semua pertikaian, adalah kenaikan posisi Tahta Constantinople. Kita sering melihat bagaimana empat ke-patriakh-an Timur, dalam batasan tertentu, dikontraskan dengan kesatuan tunggal Barat. Kalau saja tetap ada kesatuan seperti itu di Timur, maka masalah yang lebih jauh tidaklah perlu terjadi. Apa yang memperkuat ke-kontras-an [antara empat ke-patriakh-an Timur dan satu ke-patriakh-an Barat] dan yang membuatnya menjadi sebuah rivalitas adalah kenaikan secara gradual otoritas Patriakh Constantinople atas ketiga ke-patriakh-an lainnya. Adalah Constantinople yang mengikat Timur menjadi satu tubuh, menyatukannya melawan Barat. Adalah upaya terus menerus Patriakh sang kaisar [ie. Pariakh Constantinople] untuk menjadi semacam paus Timur, sehingga menjadi sederajat mungkin dengan [Paus Roma], yang merupakan sumber sejati dari semua masalah.. Pada satu sisi, kesatuan [Gereja Timur] dibawah Constantinople telah membuat semacam Gereja rival yang bisa ber-oposisi dengan Roma; di sisi lain, [dalam seluruh upaya] sang Uskup Byzantine [untuk memajukan posisi Contantinople], mereka menemukan hanya satu penghalang nyata, yaitu oposisi terus menerus dari para Paus. Sementara itu sang kaisar adalah teman dan sekutu utama mereka selalu. Dan memang kebijakan sentralisasi kaisar yang menjadi penyebab bagi rancangan untuk menjadikan Tahta Constantinople sebagai suatu pusat. Patriakh-patriakh lain yang posisinya diubah bukanlah lawan yang berbahaya. Dilemahkan oleh pertikaian berkenaan dengan bidah monophysite yang tak berhenti, kehilangan kebanyakan gembala jagaan, lalu kemudian dibuat berada dalam kondisi tanpa pengharapan oleh karena penaklukan Moslem, uskup-uskup Aleksandria dan Antiokia tidak dapat mencegah tumbuhnya Constantinople. Dan memang lambat laun mereka kemudian menerima degredasi [posisi] mereka dengan rela dan menjadi ornament tak bergerak di Istana Patriakh yang baru. Yerusalem pun dihantam oleh skisma-skisma dan Moslem, dan Yerusalem adalah sebuah ke-patriakh-an baru yang hanya mempunyai hak-hak yang paling kecil dari kelima ke-patriarkh-an.

Di sisi lain, dalam setiap langkah kedepan Constantinople, selalu ada oposisi dari Roma. Ketika tahta baru tersebut [ie.Constantinople] mendapatkan kehormatan titular [ie. dalam namanya saja] pada Konsili Pertama Constantinople (381, kanon 3), Roma menolak menerima kanon tersebut (ketika itu Roma tidak terwakili di konsili tersebut) [Constantinople I tahun 381 pada awalnya adalah sekedar konsili local Timur yang bahkan tidak dihadiri semua pihak Timur sendiri]; ketika konsili ekumenis chalcedon pada 451 menjadikan Constantinople sebagai ke-patriakh-an sejati (kanon 28) para duta dan Paus sendiri menolak untuk mengakui apa yang telah dilakukan [catatan DeusVult: ini karena keputusan untuk mengesahkan kanon tersebut dilakukan setelah para duta kepausan meninggalkan konsili untuk kembali menuju Roma]; saat sang penerus dari para uskup sufragan yang dulunya mematuhi Heraclea [Constantinople dulunya memang tahta sufragan dibawah Heraclea], yang begitu teracuni oleh kenaikan posisinya, mengambil gelar "patriakh ekumenis," lagi-lagi Paus Roma Kuno yang dengan tegas mengecam kesombongan mereka. Oleh karena itu kita bisa memahami rasa iri dan kebencian dalam pikiran sang patriakh baru [ie. Patriakh Constantinople] sampai-sampai mereka bersedia untuk menghempaskan sepenuhnya suatu otoritas yang selalu berada dihadapan setiap langkah mereka. Fakta bahwa pihak-pihak Timur lainnya bergabung dengan mereka [ie. para Patriakh Constantinople] merupakan buah dari otoritas yang berhasil mereka ambil alih dari uskup-uskup Timur lainnya. Jadi kita tiba pada pertimbangan penting dalam permasalahan ini. Skisma Timur bukanlah sebuah gerakan yang muncul di seluruh Timur; skisma Timur bukanlah sebuah pertikaian antara dua institusi besar; Skisma Timur secara esensial adalah pemberontakan satu tahta, yaitu Constantinople, yang berkat perlakuan kaisar kepadanya sebagai anak emas, berhasil mendapatkan suatu pengaruh yang besar sehingga berkat pengaruh itu Constantinople mampu menggeret para patriakh lain [yang tak senang dengan pengeretan tersebut] kedalam skisma.

Kita telah melihat bagaimana sufragan-sufragan dari para patriakh secara alami akan mengikuti kepala mereka. Kalau saja Constantinople berdiri sendiri maka skisma yang dilakukannya hanya akan menimbulkan pengaruh yang relatif kecil. Apa yang membuat situasi menjadi begitu serius adalah fakta bahwa pihak Timur lain pada akhirnya bergabung bersamanya. Ini dikarenakan upaya Constantinople yang sangat sukses dalam menempatkan diri sebagai kepala Tahta di Timur. Jadi tindakan menaikkan posisi yang dilakukan Constantinople secara tak diragukan lagi adalah penyebab dari skisma besar tersebut [ie. Skisma Timur]. Tindakan tersebut membuatnya berkonflik dengan Roma dan membuat sang patriakh Byzantine [ie. Patriakh Constantinople] hampir secara tak terelakkan menjadi musuh Paus; dan pada saat yang sama [kenaikan posisi tersebut] membuatnya berada dalam suatu posisi dimana kebenciannya berarti kebencian seluruh pihak Timur.

Atas apa yang terjadi, kita harus ingat bagaimana sepenuhnya tidak berdasar, benar-benar baru [ie. tidak pernah ada sebelumnya], dan tidak kanonik upaya Constantinople untuk meningkatkan statusnya. Tahta Constantinople bukanlah tahta apostolik, tidak mempunyai tradisi mulia, tidak punya alasan apapun atas pengambilalihannya atas posisi pertama di Timur, dimana pengambilalihan tersebut hanyalah akibat sampingan dari kegiatan politik sekuler. Uskup histories pertama dari Byzantium [ie. Constantinople] adalah Metrophanes (312-25); dia bahkan bukan seorang metropolitan [ie. uskup agung], rankingnya adalah ranking terendah yang bisa dimiliki seorang uskup dari sebuah keuskupan, seorang sufragan dari Heraclea. Hanya itulah seharusnya yang bisa dijabat oleh para penerusnya. Para penerusnya seharusnya tidak memiliki kuasa untuk mempengaruhi siapapun kalau saja kaisar Constantin tidak memilih kota mereka sebagai ibukotanya. Selama perkembangan [statusnya] para uskup Constantinople tidak menyembunyikan diri dalam mendasarkan klaim mereka tidak pada dasar apapun kecuali pada fakta bahwa mereka sekarang adalah uskup dari ibukota negara. Adalah sebagai uskup-uskup kekaisaran, sebagai fungsionaris istana kekaisaran, mereka ini naik kepada tempat kedua di ke-kristen-an. Legenda mengenai St. Andreas yang mendirikan tahta mereka adalah pemikiran yang muncul jauh kemudian; pemikiran tersebut sekarang ditinggalkan semua ahli. Klaim Constantinople sejujurnya adalah klaim yang sangat Erastian [ie.pandangan bahwa Gereja harus tunduk kepada negara], yaitu kalau Caesar bisa mendirikan ibukotanya dimanapun dia suka, maka dia [ie. Caesar], sebagai gubernur sipil, bisa memberikan ranking kegerejaan dalam suatu hierarkhi terhadap tahta manapun yang dia suka.

Kanon 28 dari konsili ekumenis Chalcedon [yang ditetapkan setelah para duta kepausan meninggalkan konsili, dan Paus pun tidak pernah mengakuinya] menyatakan fakta diatas dalam banyak kata. [Kanon itu menyatakan bahwa] Constantinople telah menjadi Roma Baru, karenanya uskupnya akan mempunyai kehormatan sebagaimana patriakh Roma Kuno dan menjadi yang kedua setelahnya. Hanya butuh kelancangan sedikit lagi untuk meng-klaim bahwa sang kaisar bisa memindahkan semua hak kepausan kepada uskup yang kotanya dia jadikan kota kekaisaran.

Biarlah diingat bahwa naiknya Constantinople, kecemburuannya kepada Roma, pengaruhnya yang tak disenangi diatas semua pihak Timur adalah Erastianisme murni ["Erastianisme adalah pandangan bahwa Gereja harus tunduk kepada negara], sebuah penyerahan atas semua yang dari Allah kepada Kaisar. Dan tak ada apapun yang lebih labil daripada mendasarkan hak-hak kegerajaan atas politik sekuler. Bangsa Turki pada 1453 memotong pondasi dari ambisi Byzantine [ie. Constantinople]. Sekarang tidak ada kaisar dan tidak ada Istana untuk memberi pembenaran atas posisi patriakh. Kalau kita menerapkan kembali prinsip yang dijadikan dasar [untuk menaikkan posisi Constantinople, yaitu bahwa kewibawaan suatu tahta kegerajaan didasarkan dari posisi kepemerintahan dimana tahta itu berada], [maka Constantinople] akan tenggelam ke tempat terendah [karena sekarang Constantinople menjadi Turki yang Islam] sedangkan sang Patriakh Ke-Kristen-an akan bertempat di Paris, London, New York [karena tempat-tempat itulah ibukota dunia berada]. Sementara itu prinsip kanon kuno dan sejati dari superioritas Tahta-Tahta Apostolik tetap tidak tersentuh oleh perubahan politik [dibandingkan kalau kita memakai prinsip yang digunakan Constantinople sebagai dasar untuk menaikkan posisinya]. Disamping asal-muasal ilahi dari Kepausan, upaya menaikkan posisi Constantinople merupakan suatu pelanggaran buruk atas hak-hak dari Tahta Apostolik Aleksandria dan Antiokia. Kita tidak perlu heran ketika para Paus, meskipun posisi mereka sebagai yang pertama tidak dipermasalahkan, menolak gangguan terhadap hak-hak kuno [dari Tahta Apostolik Aleksandria dan Antiokia] oleh ambisi dari sang uskup kekaisaran [dalam menaikkan posisi keuskupannya sendiri untuk sejajar dengan Tahta-Tahta Apostolik kuno tersebut].

Jauh sebelum Photius telah ada skisma-skisma antara Constantinople dan Roma, semuanya sembuh pada waktunya, namun secara alamiah semua itu cenderung memperlemah rasa akan adanya suatu kesatuan esensial [yang ada antara Barat dan Timur]. Sejak awal daripada Tahta Constantinople sampai kepada skisma besar pada 867, daftar pecahnya persekutuan yang terjadi memang sangat signifikan. Ada limapuluh-lima tahun skisma (343-98) ketika terjadi permasalahan dengan para Arian, sebelas tahun karena deposisi St. Yohanes Khrysostomus (404-15), tigapuluh-lima tahun skisma Acacia (484-519), empatpuluh-satu tahun skisma Monothelite (640-81), enampuluh-satu tahun karena Iconoclasm. Jadi selama 544 tahun (323-867) tidak kurang dari 203 tahun dijalani Constantinople dalam kondisi skisma. Kita catat juga bahwa pada setiap pertikaian yang terjadi Constantinople berada di pihak yang salah; dan juga, oleh persetujuan para Orthodoks pula-lah Roma dalam semua skisma tersebut berdiri tegak bagi yang benar [ie.Othodoks pun setuju bahwa dalam semua skisma yang terjadi antara 323-867, Roma-lah yang benar]. Dan pada ketika itupun kita sudah bisa melihat bahwa pengaruh sang kaisar (yang secara alami selalu mendukung patriakh-nya sendiri [ie.Patriakh Constantinople]) , dalam kebanyakan kasus, selalu menggeret sejumlah besar uskup Timur ke dalam skisma.


III. PHOTIUS DAN CAERULARIUS

Cukuplah alamiah bahwa skisma-skisma besar [skisma-nya Photius dan skisma-nya Caerularius], yang secara langsung bertanggungjawab atas kondisi sekarang ini, seharusnya merupakan pertikaian local di Constantinople. Skisma-skisma besar tersebut sama sekali bukan suatu keluhan umum dari seluruh Timur. Pada saat terjadinya kedua skisma tersebut [skisma-nya Photius dan skisma-nya Caerularius] tidak ada alasan apapun kenapa uskup-uskup [Timur] lainnya harus bergabung dengan Constantinople dalam pertikaian Constantinople dengan Roma, kecuali bahwa mereka telah terbiasa meminta perintah-perintah pada kota kekaisaran. Pertikaian yang dibuat Photius merupakan sebuah pembangkangan menjijikkan atas tatanan kegerejaan yang sah. Tanpa bisa dipertanyakan lagi Ignatius adalah uskup yang sah [saat itu]; Ignatius telah memerintah secara damai selama sebelas tahun. Lalu Ignatius menolak Komuni kepada seseorang yang berdosa karena menjalani incest [ie. hidup secara suami-istri dengan kerabat yang masih sangat dekat] secara public (857). Namun orang itu adalah sang regent [regent adalah orang yang memerintah selama kaisar yang asli tidak mampu], Bardas, jadi pemerintah mencopot Ignatius dan menaikkan Photius ke tahta. Paus Nicholas I tidak punya pertikaian dengan Gereja Timur; Paus tidak punya pertikaian dengan tahta Byzantine [ie. Constantinople]. Paus membela bagi hak-hak seorang uskup yang sah [ie. Ignatius]. Baik Ignatius maupun Photius telah secara formal mengajukan banding kepadanya. Hanyalah ketika Photius sadar bahwa pembelaannya kalah maka kemudian dia dan kekaisaran lebih memilih skisma daripada tunduk (867). Bahkan pada saat inipun masih diragukan apakah telah terjadi skisma Timur secara umum atau belum. [Ini karena] pada konsili yang memulihkan Ignatius kepada tahtanya (869) para patriakh yang lain menyatakan bahwa mereka dulunya menerima keputusan paus yang sebelumnya [keputusan bahwa Ignatius-lah patriakh yang asli, bukan Photius]

Namun Photius telah membentuk satu faksi anti-Roma yang tidak pernah terbubarkan setelah [segala kemelut berakhir]. Efek dari pertikaian Photius, meskipun sifatnya murni pribadi dan meskipun sudah didamaikan dengan matinya Ignatius yang kemudian didamaikan untuk kedua kalinya lagi saat Photius jatuh, adalah menyatukan semua kecemburuan lama Constantinople terhadap Roma kepada satu pribadi (ie.Photius). Kita bisa melihat ini pada keseluruhan terjadinya peristiwa Skisma Photius. Permasalahan mengenai hak palsu Photius [sebagai seorang Patriakh sementara Patriakh yang sah, Ignatius, masih ada] tidak [layak dijadikan penyebab] atas ledakan kesengitan kepada sang Paus, kepada apapun yang berbau Barat dan Latin [dimana] ini kita ketahui dari dokumen-dokumen kekaisaran, dari surat-surat Photius, dari Akta-Akta sinode yang diadakan Photius pada 879, dari semua sikap faksinya. Sebenarnya yang menyebabkan semua itu adalah meledaknya kesengitan selama berabda-abad karena sebuah alasan palsu [ie. pretext] yang lemah; kepenolakan sengit atas campur tangan Roma ini datang dari orang-orang yang tahu peristiwa-peristiwa kuno bahwa Roma adalah penghalang rencana-rencana dan ambisi-ambisi mereka. Terlebih, Photius memberikan kepada kaum Byzantine sebuah senjata yang baru dan kuat. Seruan bidah sering digaungkan di sepanjang masa; dan hal ini tidak pernah gagal untuk menimbulkan ketidakpuasan massal. Namun [sebelum Photius] tidak pernah terpikirkan oleh siapapun untuk menuduh seluruh bahwa Barat terlibat dalam bidah yang sangat merusak. Sebelumnya kasus-kasus yang terjadi adalah penolakan terhadap penggunaan otoritas kepausan dalam kasus-kasus individu yang tak berhubungan. [Namun pada masa Photius] gagasan baru [si Patriakh Constantinople tersebut] membawa peperangan ke kemah sang musuh dengan sebuah perasaan dendam. Enam tuduhan Phoitus [kepada Roma] cukup konyol, sebegitu konyolnya sehingga kita bisa heran mengapa seorang pelajar yang besar seperti Photius tidak memikirkan sesuatu yang lebih cerdik lagi, paling tidak di permukaannya saja. Namun tuduhan Photius tersebut merubah situasi sehingga keuntungan berada di pihak Timur. Ketika Photius menyebut kaum Latin "pembohong-pembohong, pelawan-pelawan Allah, pelayan-pelayan Antikristus", masalahnya bukan lagi pelecehan terhadap superior kegerejaannya [ie. Paus adalah superior dari Photius]. Sekarang Photius mendapatkan peran yang lebih efektif, dia adalah kampiun ortodoksi yang tidak puas terhadap si bidat.

Setelah Photius, John Bekkos mengatakan bahwa ada "perdamaian sempurna" antara Timur dan Barat. Namun perdamaian tersebut hanya di permukaan. Agenda-agenda Photius tidaklah mati. Agenda-agenda tesebut masih belum terlihat pada faksi yang dia tinggalkan, faksi yang masih membenci Barat, dan yang siap untuk memutuskan kesatuan sekali lagi dengan berlandaskan alasan palsu apapun. Faksi yang masih ingat akan tuduhan bidat kepada kaum Latin dan siap untuk membangkitkan tuduhan itu kembali. Pastilah sejak masa Photius, kebencian dan kejijikan kepada kaum Latin merupakan sebuah warisan dari banyak klerus Byzantine. Bagaimana mengakarnya dan bagaimana luas sebarannya bisa dilihat dengan ledakan besar yang absolute 150 tahun kemudian dibawah [ke-patriakh-an] Michael Caerularius (1043-58). Bahkan pada saat ini tidak ada bayangan apapun atas sebuah alasan palsu. Tidak ada seorang pun yang mempertanyakan hak Caerularius sebagai Patriakh; sang Paus tidak mencampuri urusan Caerularius sama sekali. Lalu tiba-tiba pada 1053 dia mengirimkan sebuah deklarasi perang, lalu menutup semua gereja Latin di Constantinople, melontarkan sejumlah tuduhan-tuduhan tak jelas, dan mempertunjukkan dengan berbagai cara bahwa dia menginginkan suatu skisma, tampaknya hanya dikarenakan dia telah merasakan nikmatnya tidak bersekutu dengan Barat. Caerularius mendapatkan apa yang dia inginkan. Setelah sejumlah agresi tak terkendali, yang tak pernah ada duanya dalam sejarah gereja, setelah dia mulai mencoret nama Paus dari diptych-nya [ie. dua tatakan dari batu yang ada ukirannya], para duta kepausan meng-ekskomunikasinya (16 Juli 1054). Namun pada saat itu masih belum ada pemikiran akan terjadinya suatu ekskomunikasi umum atas Gereja Byzantine, ataupun bahkan ekskomunikasi semua [Gereja] Timur. Para duta kepausan dengan hati-hati menghindari hal tersebut dalam Bulla mereka. Mereka mengakui bahwa sang Kaisar (Constantine IX, yang sangat terganggu oleh keseluruhan pertikaian tersebut), dewan Senator, dan mayoritas penduduk kota [Constantinople] adalah [orang yang] "sangat saleh dan ortodoks". Mereka meng-ekskomunikasi Caerularius, Leo dari Achrida dan pengikut-pengikut mereka.

Pertikaian inipun sebenarnya tidak perlu menghasilkan sebuah kondisi skisma yang lebih permanen sebagaimana pula bila terjadi ekskomunikasi uskup yang memberontak. Tragedi yang sebenarnya adalah bahwa secara gradual semua Patriakh Timur berpihak kepada Caerularius. Mereka mematuhinya dengan mencoret nama Paus dari diptych [ie. dua tatakan dari batu yang ada ukirannya] mereka, dan memilih atas kerelaan mereka sendiri untuk berbagi dalam skisma yang [dilakukan Caerularius]. Pada awalnya mereka tampaknya tidak ingin berlaku seperti itu. John III dari Antiokia jelas menolak ber-skisma atas ajakan Caerularius. Namun, lambat laun, kebiasan meminta perintah-perintah [ie.keputusan-keputusan] kepada Constantinople terbukti terlalu kuat. Sang kaisar ([pada saat ini yang menjabat] bukan Constantine IX, tapi penerusnya) berada di pihak patriakh-nya dan mereka [i.e semua Patriakh Timur] telah belajar dengan baik untuk menganggap kaisar sebagai Tuan mereka dalam perkara-perkara spiritual. Sekali lagi, adalah pengambilalihan otoritas oleh Constantinople, Erastianisme [ie. pandangan bahwa Gereja hrus tunduk kepada negara] kaum Timur yang mengubah sebuah pertikaian pribadi menjadi sebuah skisma besar. Kita juga melihat bagaimana gagasan Photius untuk menyebut kaum Latin sebagai bidat telah dipelajari. Caerularius mempunyai sebuah daftar, yang lebih panjang dan lebih parah, mengenai tuduhan-tuduhan seperti [yang dibuat Photius]. Poin-poin [tuduhan Caerularius] berbeda dari Photius; dia telah melupakan Filioque, dan telah menemukan sebuah bidaah baru berkenaan dengan penggunaan roti azyme oleh kaum Latin. Namun tuduhan yang sesungguhnya [sebenarnya] tidak begitu penting, [yang penting adalah] gagasan menyatakan bahwa kaum Latin adalah orang yang mustahil karena mereka adalah bidat, merupakan gagasan yang dirasa sangat berguna [bagi kaum Timur]. [Tuduhan bidat tersebut] sangat menghina dan [tuduhan tersebut] memberi kepada para pemimpin-pemimpin yang skismatik kesempatan memperoleh peran paling efektif, yaitu peran sebagai pembela Iman sejati.


IV. SETELAH CAERULARIUS

Dalam satu arti, skisma tersebut telah komplit. Apa yang pada awalnya adalah dua bagian dari Gereja yang sama, apa yang telah menjadi dua entitas yang siap untuk pecah, sekarang adalah dua Gereja rival. Namun, sebagaimana sebagaimana ada skisma-skisma sebelum Photius, begitu pula ada reuni-reuni setelah Caerularius. Pada konsili Lyons Kedua pada 1274 dan [pada] Konsili Florence pada 1439 tercapai reuni yang diharapkan orang-orang untuk [menyatukan perpecahan] selamanya. Sayangnya, kedua reuni tersebut tidak abadi, keduanya tidak mempunyai basis yang kuat atas pihak Timur. Faksi anti-Latin yang laten sejak dahulu dan kemudian dibentuk dan diorganisasi oleh Photius, sekarang telah menjadi Gereja "Orthodox" secara keseluruhan dibawah Caerularius. Proses tersebut bersifat gradual, namun sekarang telah komplit. Pada awalnya Gereja Slavia (Rusia, Servia [Serbia], Bulgaria etc.) tidak melihat adanya suatu alasan mengapa mereka mesti memutus persekutuan dengan Barat karena seorang Patriakh Constantinople marah terhadap Paus. Namun kebiasaan merujuk kepada ibukota kekaisaran lambat laun mempengaruhi mereka juga. Mereka menggunakan ritus Byzantine, mereka adalah Timur; jadi mereka berpihak kepada Timur. Caerularius dengan cerdik telah berhasil menyajikan persoalannya sebagai persoalan kaum Timur; tampaknya persoalannya adalah permasalahan mengenai Byzantine versus Latin, meskipun ini sangat tidak adil.

Pada Konsili Lyons, dan lagi pada Konsili Florence, reuni (bagi pihak timur) adalah sebuah perpanjangan tindakan politis dari Pemerintahan [Timur]. Sang Kaisar menginginkan kaum Latin untuk berperang bagi dirinya melawan bangsa Turki. Jadi dia sudah siap untuk memasrahkan apapun — sampai bahaya berlalu. Cukup jelas pada saat-saat ini motivasi agama hanya menggerakkan pihak Latin. Kita [ie. pihak Latin] tidak untung apapun; kita tidak mau apapun dari mereka [ie. pihak Timur]. Kaum Latin punya banyak hal yang bisa ditawarkan, mereka [ie.kaum Latin] siap untuk memberi bantuan.. Yang mereka minta sebagai balasan adalah berakhirnya tontonan yang memprihatinkan dan aib akan suatu kekristenan yang terpecah. Pihak Byzantine tidak peduli terhadap motivasi agama; atau lebih tepatnya, bagi mereka agama berarti terus melanjutkan skisma. Mereka begitu sering memanggil kita [ie. kaum Latin] sebagai bidat sehingga mereka mulai meyakininya. Reuni [bagi mereka] adalah suatu kondisi yang tidak menyenangkan dan memalukan supaya tentara [bangsa] datang dan melindungi mereka. Umat-umat awam Timur sudah begitu terlatih dalam kebencian mereka akan Azymite [color-darkred][catatan DeusVult: "tak beragi," maksudnya roti tak beragi. Gereja Timur menggunakan roti beragi][/b][/color]. dan perubah-syahadat, sehingga semangat mereka terhadap apa yang mereka anggap Orthodoksi menang atas ketakutan mereka terhadap bangsa Turki. Ungkapan "lebih baik turban sang Sultan daripada tiara sang Paus" mencerminkan dengan tepat pemikiran mereka. Ketika uskup-uskup yang menandatangani dekrit reuni pulang, mereka setiap kali disambut dengan badai seruan ketidakpuasan sebagai pengkhianat iman Orthodox. Setiap kali reuni berakhir secepat dibuatnya [reuni tersebut]. Tindakan skisma terakhir adalah ketika Dionysius I dari Constantinople (1467-72) memanggil sinode dan secara formal menolak persatuan (1472). Sejak saat itu tidak pernah ada interkomuni; sebuah Gereja "Orthodox" yang luas terbentuk, tampaknya puas dengan kondisi skisma dengan uskup yang mereka masih akui sebagai patriakh pertama ke-kristen-an [ie.Paus Roma].


V. ALASAN-ALASAN ATAS SKISMA SAAT INI

Dalam kisah yang memprihatinkan ini kita mencatat beberapa poin. Adalah lebih mudah untuk memahami bagaimana suatu skisma berlanjut daripada bagaimana skisma itu bermula. Skisma gampang dibuat; namun sangatlah sulit untuk diperbaiki. Insting religius sikapnya selalu konservatif; ada kecenderungan kuat untuk melanjutkan kondisi yang telah berlangsung. Pada awalnya para skismatik adalah para innovator [ie. pihak yang memunculkan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya] yang ceroboh; kemudian dengan berlalunya abad alasan mereka tampak sebagai alasan yang lebih kuno; alasan lebih kuno yang merupakan iman sejati para Bapa Gereja. Umat Kristen Timur khususnya mempunyai insting konservatif ini secara kuat. Mereka takut kalau reuni dengan Roma berarti suatu pengkhianatan terhadap Iman lama, pengkhianatan atas Gereja Orthodox, pengkhianatan terhadap apa yang telah mereka pegang secara heroik selama berabad-abad ini. Bisa dikatakan bahwa skisma Timur berlanjut karena daya inersia [ie. dari istilah fisika yang berarti kecenderungan suatu benda untuk tetap pada kondisi sebelumnya. Kalau kondisi sebelumnya diam, maka benda akan cenderung diam. Kalau bergerak, maka benda akan cenderung bergerak].

Pada asal muasalnya kita harus membedakan antara kecenderukan skismatik dan peristiwa actual atas meledaknya kecenderungan tersebut. Namun alasan atas keduanya sudah tidak ada lagi saat ini. Kecenderungannya adalah kecemberuan yang disebabkan oleh naiknya posisi Tahta Constantinople. Perkembangan posisi Constantinople telah berakhir sejak dulu sekali. Pada tiga abad terakhir Constantinople telah kehilangan hamper semua tanah yang dulunya dimiliki. Tidak ada yang lebih ditolak oleh umat Kristen Ortodoks modern daripada naiknya otoritas apapun oleh patriakh ekumenis diluar ke-patriakh-annya yang mengecil. Tahta Byzantine telah lama menjadi mainan bangsa Turki, [bagai] benda yang bisa dijual kepada penawar tertinggi. Tentunya sekarang harga diri yang [telah menjadi cukup] menyedihkan ini bukan lagi alasan bagi skisma oleh hamper 100,000,000 umat Kristen. Bahkan [dua] penyebab langsung dari perpecahan sudah tidak ada lagi. [Yang pertama adalah] permasalahan akan hak-hak Ignatius dan Photius [ie. siapa Patriakh yang sah] bahkan tidak dipedulikan lagi oleh kaum Ortodoks setelah sebelas abad.; [sedangkan penyebab langsung kedua yaitu] ambisi dan kelancangan Caerularius telah terkubur bersamanya. Tidak ada lagi yang tersisa atas penyebab-penyebab asli Skisma Timur.

Tidak benar-benar ada masalah apapun yang berkenaan dengan doktrin. Masalahnya bukan bidaah, tapi skisma. Dekrit Florence [mengantisipasi segala perasaan tidak enak yang mungkin muncul dari mereka]. Tidak ada alasan nyata mengapa mereka tidak menandatangani dekrit tersebut sekarang. Mereka menolak infallibilitas Paus dan Konsepsi Tanpa Noda [ie. ajaran bahwa Perawan Maria dikandung tanpa noda dosa asal], mereka bertikai atas Api Penyucian, atas konsekrasi dengan menggunakan kata-kata institusi, prosesi Roh Kudus, dalam setiap hal tersebut [mereka] salah paham terhadap dogma yang mereka tolak. Tidak sulit untuk ditunjukkan bahwa atas semua poin-poin tersebut Bapa Gereja mereka sendiri [ie.para Bapa Gereja Timur] sepakat dengan ajaran Gereja Latin, Gereja yang hanya meminta mereka untuk kembali kepada ajaran kuno Gereja mereka sendiri.

Itulah sikap yang benar terhadap Ortodoks, selalu. Mereka mempunyai ketakutan [bahwa mereka] akan dilatinisasi., [bahwa mereka akan] mengkhianati Iman kuno. Kita harus menekankan bahwa tidak ada pikiran untuk me-latin-kan mereka, dan bahwa iman kuno bukanlah tidak cocok, malahan menuntut kesatuan dengan tahta uatama yang dipatuhi para Bapa Gereja mereka sendiri. Pada hukum kanon mereka tidak ada yang perlu diubah kecuali penyelewengan-penyelewengan seperti penjualan posisi uskup dan Erastianisme [ie. pandangan bahwa Gereja harus tunduk pada negara] yang dikecam teolog mereka sendiri. Selibat, roti tak beragi, dan yang lain adalah kebiasaan Latin yang tidak pernah terpikirkan seorang pun untuk dipaksakan kepada mereka. Mereka tidak perlu menambahkan filioque kepada syahadat mereka; ritus terhormat mereka tidak akan disentuh. Tidak ada satu uskup pun yang perlu dipindah dan hamper tidak ada satu hari raya pun yang perlu diubah (kecuali perayaan St. Photius pada 6 Februari). Yang diminta hanya agar mereka kembali ke tempat dimana Bapa Gereja mereka berdiri, untuk memperlakukan Roma sebagaimana Athanasius, Basil, Chrysostom memperlakukannya. Bukan kuam Latin, tapi merekalh yang telah meninggalkan iman para Bapa Gereja mereka. Tidak ada permaluan untuk melangkah balik ketika seseorang [memang] telah melanglang ke jalan yang salah karena pertikaian pribadi yang telah lama terlupakan. Mereka seharusnya juga melihat bagaimana parahnya skandal perpecahan terhadap tujuan bersama. Mereka seharusnya juga berkeinginan untuk mengakhiri jeritan iblis [skisma] ini. Dan kalau mereka benar-benar menginginkannya, caranya tidak harus menjadi sulit. Karena, memang, setelah enam abad skisma kita bisa menyadari dari sudut pandang kedua pihak bahwa skisma bukan hanya yang kejahatan terbesar di Kekristenan, tapi juga merupakan kejahatan paling sia-sia di Kekristenan.



Informasi publikasi Ditulis oleh Adrian Fortescue. Di-transcribed oleh Judy Levandoski. The Catholic Encyclopedia, Volume XIII. Diterbitkan pada 1912. New York: Robert Appleton Company. Nihil Obstat, 1 February 1912. Remy Lafort, D.D., Censor. Imprimatur. +John Cardinal Farley, Uskup Agung New York

Sumber
Sumber lainnya mengenai Skisma Timur: Schism in the east -http://holyunia.blogspot.com/2009/07/schism-in-east.html

Pertimbangan Kritis terhadap Kewajiban Selibat Bagi Klerus (yang bukan biarawan)


Oleh Anthony T. Dragani

Walaupun sebagian besar orang tidak menyadarinya, selama beberapa dekade terakhir telah ada suatu usaha baru yang dilakukan untuk mempertahankan kebiasaan Latin mengenai kewajiban selibat bagi para Imam. Dengan mengesampingkan argumentasi sosiologis yang kita semua telah akrab dengannya, pembelaan baru atas disiplin ini bersandar pertama-tama atas suatu dasar historis. Walaupun tulisan-tulisan mereka tidak mendapat perhatian yang besar, namun memiliki pendukung setia pada sejumlah kalangan Katolik.

Pada dasarnya saya tidak ambil pusing mengenai pembelaan tradisi Latin mengenai kewajiban selibat bagi para Imam. Bagaimanapun, itu adalah tradisi mereka dan mereka memiliki hak untuk mempertahankannya. Tetapi, literatur-literatur baru ini melangkah lebih jauh dan mempertanyakan legitimasi tradisi Timur yang menahbiskan pria-pria berkeluarga menjadi Imam. Pandangan ini diwakili oleh buku The Case for Clerical Celibacy karangan Kardinal Alfons Maria Stickler. Buku ini pada dasarnya mempopulerkan pandangan dari dua pengarang lainnya, yang diolah sedemikian sehingga menjadi lebih mudah dibaca. Tujuan dari karangan Kardinal Stickler adalah untuk menegaskan bahwa kewajiban selibat adalah disiplin yang asli dan bahwa tradisi yang dipraktekkan di Timur adalah sebuah “inovasi” yang tidak tepat.[1]

Sebagai orang Katolik Timur saya merasa terganggu dengan klaim ini. Sejarah Kekatolikan Timur di Amerika Utara telah ditandai dengan berbagai usaha untuk memaksakan kewajiban selibat kepada kami, dan upaya itu hampir selalu berakhir tragis (pada masa pra-Vatikan II para Uskup Latin Amerika meminta agar dalam ritus Timur hanya para Imam berselibat saja yang melayani umat Katolik Timur di sana, hal ini menimbulkan kekesalan bagi umat Timur dan mengakibatkan hampir separuh dari umat Katolik Timur di Amerika berpindah menjadi Ortodoks- Penerjemah). Kami telah berjuang keras untuk waktu lama guna meneguhkan legitimasi tradisi kami yang menahbiskan pria berkeluarga menjadi Imam, dan sekarang masalah ini menjadi perhatian utama yang cukup sensitif. Karena itu, bahwa seorang Kardinal yang berpengaruh telah menulis sebuah buku yang menentang legitimasi tradisi kami membuat saya merasa tidak nyaman.

Siapakah sebenarnya Kardinal Stickler? Menurut biografi di sampul bukunya ia “adalah anggota berbagai akademi dan organisasi akademis teologi internasional. Ia telah menjadi konsultor bagi banyak Konggregasi Kuria Roma, ia adalah anggota komisi persiapan Konsili Vatikan II, dan peritus (penasehat teologis) bagi tiga Komisi Konsili dan anggota komisi persiapan Codex Iuris Canonici”.[2] Hal ini sangat mengesankan untuk membangkitkan kepercayaan akan karya-karyanya. Karena itu, merupakan tugas yang cukup berat untuk mengkritik sebuah buku yang ditulis oleh seorang pejabat Gereja yang kompeten seperti beliau, tetapi sebagai seorang Katolik Timur saya merasa berkewajiban untuk menjawab pernyataan-pernyataannya.

Buku itu sendiri terbagi dalam empat bagian. Bagian I menyampaikan premis dan metodologi yang digunakan. Bagian II menyampaikan detail sejarah selibat dalam Gereja Latin. Bagian III menganalisa tradisi Imam berkeluarga di Timur, dengan penekanan khusus pada Konsili Trullo. Akhirnya, Bagian IV menawarkan suatu teologi selibat. Kita akan memeriksa setiap bagian dari buku itu berdasarkan susunannya.

Bagian I: Konsep Dan Metode
 Sejak awal bukunya Kardinal Stickler mengutip suatu mitos yang hendak dihapuskannya: “bahwa selibat klerus diperkenalkan hanya pada awal millennium kedua, terutama oleh Konsili Lateran II pada tahun 1139.”[3] Ini adalah pandangan yang pada umumnya disebarkan oleh para sejarawan sekuler. Sejarawan lain, menurut Kardinal Stickler, menyebut bahwa asal mula selibat klerus berasal dari abad 4. Kardinal Stickler ingin membuktikan klaim yang lebih tegas yaitu bahwa kewajiban selibat bagi klerus adalah Tradisi Apostolik yang “dituntut oleh para Rasul sendiri.[4]

Dalam membuat klaim ini, Kardinal Stickler menyadari bahwa ia harus berhadapan dengan sejumlah besar bukti yang mengarah kepada kebalikannya. Dokumentasi mengenai para Imam dan Uskup yang berkeluarga dalam Gereja Purba terlalu banyak jumlahnya. Bagaimanapun, ia berargumen bahwa sejak saat pria-pria berkeluarga ini ditahbiskan menjadi Diakon mereka berhenti dari semua aktifitas seksual mereka dan hidup sebagai kakak dan adik dengan istri mereka.[5] Hal ini bukanlah selibat dalam arti sebagaimana kita pahami sekarang ini, tetapi dalam arti yang lebih luas, suatu kewajiban “untuk tidak menikah, dan jika sudah menikah ada kewajiban untuk tidak menggunakan hak-hak dari pernikahan.”[6]

Jadi Kardinal Stickler hendak mengklaim bahwa para Rasul mengajar agar para Diakon, Imam, dan Uskup yang menikah harus hidup dalam pantang hubungan seksual yang permanen.[7] Ia menarik tesis ini dari sejumlah penelitian baru mengenai sejarah selibat, dua penelitian semacam itu yang cukup penting adalah: The Apostolic Origins of Priestly Celibacy karangan Christian Cochini, S.J., (1981) dan Clerical Celibacy in East and west karangan Roman Cholic (1988).[8] Ia sangat berutang kepada kedua pengarang ini dan mengambil sebagian besar informasinya dari buku mereka. Kardinal Stickler juga menyesalkan bahwa “penelitian-penelitian belum meresap kepada kesadaran umum atau bahwa penelitian-penelitian ini telah dibungkam sedemikian karena mereka mampu memberikan pengaruh kepada kesadaran umum dengan cara yang tidak diinginkan oleh sejumlah pihak.’ [9] Dalam penulisan bukunya cukup jelas bahwa Kardinal Stickler berharap hendak mempopulerkan hasil penelitian-penelitian ini.


Kerja keras sang Kardinal telah membuahkan hasil. Sejumlah kalangan press Katolik mulai memperakukan klaim itu sebagai suatu fakta. Pada tanggal 13 Maret 2000, National Catholic Register menampilkan suatu tajuk yang menyatakan bahwa kewajiban selibat bagi Klerus merupakan TRadisi Apostolik dan bahwa Gereja-gereja Timur telah menyimpang darinya. Tajuk tersebut bahkan tidak menyebutkan bahwa kebanyakan sejarawan Gereja tidak menyetujui pernyataan tersebut. Baru-baru ini penerbitan yang sama juga menyatakan bahwa di Gereja Perdana istri para Imam dan Uskup diminta untuk mengambil “suatu kaul selibat bersamaan dengan masuknya suami-suami mereka dalam karir pelayanannya.”[10] Pernyataan yang sangat diragukan dari sisi sejarah ini justru digambarkan oleh pengarang sebagai kebenaran sejarah yang diakui.

Satu fakta yang tidak dapat diperdebatkan adalah bahwa tidak ada catatan tertulis dimana para Rasul menuntut semacam pantang atau selibat bagi Klerus. Kardinal Stickler menyadari kesulitan dengan argumennya. Karena itu, dia mengandaikan bahwa hal ini diajarkan sebagai tradisi lisan, yang diwariskan dari generasi ke generasi.[11] Dia secara sistematis memaparkan bukti-bukti untuk pernyataan ini dalam Bagian II.


Bagian II: Perkembangan Dalam Gereja Latin
Pembuktian pertama datang dari Konsili Elvira yang diadakan pada dekade permulaan abad keempat. Berlangsungnya Konsili ini pada era awal itu bersifat sangat menentukan dalam argumennya karena ia menyakini bahwa ajaran Konsili itu menyatakan ajaran Gereja Perdana yang baru saja meninggalkan katakombe (maksudnya masa penganiayaan). Kanon 33 dari Konsili tersebut adalah pengaturan paling awal mengenai pantang hubungan intim bagi klerus. Kanon tersebut berbunyi:

[Kami] memandang baik untuk secara mutlak melarang para Uskup, Imam dan Diakon, yaitu semua Klerus yang terlibat dalam pelayanan di Altar, untuk mengadakan hubungan [seksual] dengan istri mereka dan untuk menghasilkan [procreate] anak; dan jika ada yang berbuat demikian, maka hendaknya ia dikecualikan dari kehormatan Klerus.[12]
Kardinal Stickler berargumen bahwa hukum tertulis ini mencerminkan suatu praktek yang sudah berlangsung sebelumnya.[13] Karena Konsili Elvira berlangsung pada masa awal, maka ia menyimpulkan bahwa pantang hubungan perkawinan mutlak telah diberlakukan oleh Gereja Perdana. Namun, dalam membahas Konsili ini ia lupa mengutip penelitian dasar dari m. Meigne dan Roger Gryson, yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa kanon-kanon Elvira adalah kompilasi dari kanon-kanon sepanjang abad keempat.[14] Kanon 33 pada kenyataannya “berasal dari akhir abad keempat, dan hanya 21 kanon pertama yang benar-benar berasal dari Konsili Elvira.”[15]

Selanjutnya Kardinal Stickler mengarahkan perhatian kita kepada Konsili Karthago, yang berkumpul di tahun 390 AD. Ia tertarik dengan Kanon 2 Konsili ini, yang tampaknya memerintahkan pantang hubungan suami istri bagi Klerus:
Kami berkenan bahwa semua Uskup, Imam dan Diakon, para penjaga kemurnian, berpantang [dari hubungan seksual] dengan istri mereka, agar mereka yang melayani Altar dapat menjaga kemurnian sempurna.[16]

Lebih daripada kanon itu sendiri, Kardinal Stickler memberi perhatian kepada intervensi yang dikenakan kepada kanon itu. Intervensi ini datang dari seorang Uskup Afrika bernama Genetlius, yang tentang dirinya kita mengetahui sangat sedikit”
Uskup Genetlius mengatakan: Sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya, adalah cocok bahwa para Uskup dan Imam Allah yang suci sebagaimana para Lewi, yaitu mereka yang berada dalam pelayanan Sakramen-sakramen Ilahi, menjalankan pantang sempurna, agar mereka dapat memperoleh dalam kesederhanaan penuh apa yang mereka minta dari Allah: apa yang diajarkan para Rasul dan apa yang dipatuhi sejak zaman dulu, marilah juga kita bertekun menjaganya.[17]

Kardinal Stickler menggarisbawahi pernyataan Genetlius bahwa pengajaran ini berasal dari para Rasul. Disni kita memiliki saksi yang menyampaikan argumen mengenai asal-usul Apostolik dari kewajiban selibat klerus. bagaimanapun “ahli kenamaan dalam bidang patristic dan sejarah Franz Xaver Funk menyoroti bahwa para Bapa Gereja kerap mengacu kepada penentapan Apostolik secara terlalu umum, dan mengenakan asal-usul Apostolik kepada penentapan-penetapan yang melalui penelitian sejarah dapat dibuktikan dengan pasti hanya muncul pada waktu yang kemudian.”[18] Jadi, adalah mungkin bahwa Genetlius mengandaikan bahwa disiplin itu memiliki asal-usul Apostolik hanya karena hal itu telah dipraktekan secara luas di wilayahnya. Juga, sebagaimana akan ditunjukkan nanti Gereja Byzantine pun akan menyandarkan diri kepada otoritas para Rasul untuk meneguhkan tradisi mereka dimana para Imam yang telah menikah tetap melanjutkan hubungan suami istri mereka.

Kami juga harus menyatakan bahwa teks kanon yang sesungguhnya secara signifikan jauh lebih longer daripada ungkapan yang digunakan Genetlius dalam intervensinya. Kanon tidak mengenakan asal-usul Apostolik kepada praktek selibat atau pantang kekal hubungan suami istri bagi Klerus yang berkeluarga, kanon tersebut juga tidak memberikan hukuman apapun bagi Klerus yang gagal menjalankannya. Sebaliknya kanon hanya menyatakan “Kami berkenan”. Kanon juga tidak secara eksplisit menyatakan berapa lama Klerus harus berpantang dari istri mereka dan hal ini dapat berarti hanya pantang dalam periode tertentu saja.[19]

Kemudian Kardinal Stickler mengacu kepada Kanon Afrika tahun 419 (Codex Canonum Ecclesiae Africanae). Kanon 25 menyatakan:

“Karena kami telah mendengar ketidaktahanan (untuk berpantang seksual) dari sejumlah Klerus, bahkan Lektor, terhadap istri mereka, maka kami memandang baik bahwa apa yang ditetapkan dalam berbagai Konsili harus diteguhkan, yaitu, bahwa para Subdiakon yang menjaga Misteri-misteri suci, dan Diakon, dan Penatua (Imam), sebagai Uskup menurut penetapan sebelumnya, harus berpantang dari istri mereka, sehingga mereka berpikir bahwa mereka tidak memiliki (istri): dan jika mereka tidak bertindak demikian, hendaklah mereka dikeluarkan dari jabatan mereka. Tetapi kepada Klerus lainnya hal ini diberlakukan kepada mereka, kecuali jika mereka telah mencapai usia dewasa.[20]

Dari kanon ini dapat disimpulkan bahwa pantang hubungan intim bagi Klerus di Gereja Afrika tidak dibatasi hanya kepada Uskup dan Imam, tetapi juga diperluas kepada Diakon dan Subdiakon. Namun, Konsili tidak mensyaratkan Lektor tertahbis untuk menjalankan pantang hubungan intim, walaupun mereka juga dianggap Klerus. Mengapa mereka dikecualikan dari dispilin ini dan para Subdiakon tidak? Alasan yang diberikan adalah Subdiakon “menjaga Misteri-misteri suci”. Tidak seperti Lektor, para Subdiakon benar-benar memasuki panti imam (sanctuary) dan melayani di Altar. Mereka menyentuh bejana-bejana suci.

Jika logika dibalik kanon ini hendak dibawa kepada kesimpulan logisnya, maka implikasinya akan lebih luas daripada sekedar kewajiban selibat bagi para Imam.[21] Saat ini Gereja Latin umum menggunakan kaum awam sebagai pembagi Komuni luarbiasa. Orang-orang ini, sering kali mereka adalah orang yang berkeluarga, memasuki panti imam dan memegang bejana-bejana kudus. Lebih lagi, mereka juga menyentuh Ekaristi itu sendiri. Berdasarkan regulasi ini mereka harus berpantang kekal dari hubungan perkawinan mereka. Tetapi, pada hari ini tidak seorangpun berani mengajukan persyaratan semacam itu.

Jika kita mengamatinya lebih teliti jelaslah bahwa Kanon 25 mengindikasikan adanya suatu kepercayaan akan kemurnian ritual. Mereka yang memasuki panti imam dan menyentuh bejana-bejana suci harus murni secara ritual. Pandangan ini mengandung gagasan bahwa hubungan intim suami istri dengan suatu cara tidak murni secara ritual. Menurut Lisa Sowle Cahill, dalam Yudaisme hukum-hukum kemurnian berfungsi sebagai “suatu cara untuk memastikan bahwa proses tubuh yang secara erat berkaitan dengan kehidupan dan kematian (seperti halnya hubungan intim berkaitan dengan kehidupan baru) dipisahkan dari kehadiran Alah yang suci dan tidak berubah.”[22] Begitu juga “hukum kemurnian cenderung melayani suatu ideology bagi kaum elit yang mendefinisikan siapa dan apa yang tidak murni, dan dari situ siapa yang berada dalam status yang lebih rendah, dan konsekuensinya dijauhkan dari penguasaan politik dan materi.”[23] Tidaklah mengejutkan jika konsep kemurnian ritual juga memunculkan dirinya dalam sejumlah sektor Kekristenan.[24]

Setelah memeriksa peraturan dari abad keempat yang relevan, kemudian Kardinal mengarah kepada surat yang dikenakan kepada St. Siricius, yang menjadi Uskup Roma tahun 384 sampai 399. Menurut Kardinal Stickler, Siricius “menyatakan bahwa banyak Imam dan Diakon yang bahkan setelah pernikahan memiliki anak bertindak melawan hukum yang tidak dapat ditarik kembali yang merupakan hukum yang mengikat sejumlah besar Klerus sejak permulaan Gereja.”[25] Menariknya, buku ini bahkan tidak menampilkan suatu kutipan pun dari surat Siricius. Sekilas teks dari surat itu sebenarnya dapat menunjukkan motivasi Siricius.

“Akankah seorang yang cemar berani mengotori apa yang kudus, ketika apa yang kudus hanya dikhususkan bagi orang-orang kudus. Maka, mereka yang akan melayani kurban di Bait, agar tetap murni, dipandang cocok untuk tetap dalam Bait Allah selama tahun pelayanan mereka, dan tidak melakukan apapun dengan keluarga mereka. Bahkan para penyembah berhala, untuk melakukan tindakan kafir mereka dan mempersembahkan kurban kepada setan-setan, mewajibkan diri mereka berpantang terhadap wanita, jika hubungan seksual adalah suatu pencemaran, maka Imam harus bersiap untuk tugas-tugas surgawi, sebagai orang yang menjadi pengantara bagi dosa sesamanya; jika tidak, ia akan menjadikan dirinya sendiri tidak pantas.”[26]

Sekali lagi kita melihat bahasa kemurnian ritual disini. Hubungan seksual dalam suatu pernikahan dipandang sebagai “pencemaran” sebuah gambaran yang sungguh jauh berbeda dari pengajaran Katolik sekarang ini.[27] Siricius menulis dengan suatu asumsi bahwa hubungan intim dalam perkawinan mengurangi kekudusan tubuh.[28] Ini adalah suatu pandangan yang tidak dianut oleh Magisterium Gereja pada masa kini.

Kardinal juga menaruh perhatian pada penafsiran Siricius mengenai sejumlah teks-teks Kitab Suci. 1 Timotius 3: 2-5 kerap digunakan sebagai bukti menentang kewajiban selibat: “Karena itu seorang Uskup haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu istri (married only once), seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya; jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus keluarga Allah?” Menurut Siricius, pembatasan Paulus bahwa Uskup hanya menikah sekali “tidak berarti bahwa ia dapat terus hidup dengan keinginan untuk memiliki anak; tetapi penekanan Santo Paulus akan hal itu mengacu kepada pantang dimasa selanjutnya” setelah penahbisan seseorang yang sebelumnya menikah, tidak ada jaminan bahwa pantang yang diberlakukan akan dijalankan jika orang itu menikah kembali.”[29]

Dalam penafsiran Siricius mereka yang menikah kembali tidak memiliki disiplin untuk menjalankan pantang kekal yang dituntut oleh Tahbisan Suci. Maka, Kardinal Stickler melihat dalam kalimat itu bukan suatu bukti bagi imam yang berkeluarga tetapi peneguhan bahwa klerus yang berkeluarga harus menghentikan semua relasi seksual dengan istri mereka. Ini adalah penafsiran yang menarik, tetapi sulit untuk dikatakan bahwa itulah satu-satunya arti yang mungkin. Bahkan sulit dikatakan bahwa itulah artinya. Kebanyakan pakar Kitab Suci menafsirkan pernyataan suami dari satu istri  hanya untuk menegaskan kesetiaan biasa pada perkawinannya (paham ini dianut oleh penerjemah TB-LAI sehingga dalam bahasa Indonesia kita membaca teks itu sebagai “suami dari satu istri” dan bukan “menikah hanya sekali”).
Setelah menampilkan bukti dari Siricius, Kardinal Stickler kemudian menampilkan pernyataan serupa dari Bapa-bapa Gereja Barat yang kemudian. Karena hal ini berasal dari periode yang kemudian, kami tidak ambil pusing dengan mereka di sini. Akhirnya Kardinal Stickler tiba pada suatu kesimpulan:

Dari analisa yang telah kami lakukan menyangkut praktek disiplin dari Gereja Barat, kami dapat menyampaikan kesimpulan berikut: bahwa tiga tingkatan pelayanan klerus yang lebih tinggi diwajibkan untuk berpantang kekal, kewajiban semacam itu dapat dilacak kepada awal mula Gereja dan telah diwariskan sebagai bagian dari tradisi lisan. Setelah periode penganiayaan Gereja dan terutama karena meningkatnya jumlah orang yang masuk agama Kristen, yang juga berarti peningkatan jumlah tahbisan, kami menemukan perlawanan terhadap kewajiban yang sulit ini. Berhadapan dengan perlawanan ini, baik para Paus dan berbagai Konsili menegaskan dengan ketegasan yang semakin meningkat akan kewajiban berpantang melalui berbagai hukum dan peraturan tertulis.[30]

Bagaimanapun, ia mengakui bahwa “prakteknya, sekalipun di Barat, tidak selalu sejalan dengan perintah itu.[31] Berlawanan dengan peraturan sejumlah Diakon Imam dan Uskup yang berkeluarga tetap melanjutkan hubungan intim dalam perkawinan mereka. Berhadapan dengan pengabaian semacam ini Gereja Latin mulai menahbiskan hanya pria yang tidak menikah sebagai Klerus tinggi. Para Imam yang berkeluarga “selalu berada dalam bahaya” tidur dengan istri mereka.[32] Maka”seterusnya konsep selibat, yang berarti kewajiban pantang sempurna bagi yang sudah menikah sebelum tahbisan atau larangan untuk menikah bagi yang ingin ditahbiskan sekarang diperketat sampai pada pengertian yang muncul dimasa kemudian.”[33]

Di akhir bagian II Kardinal Stickler membuat suatu pengamatan yang menarik namun kontroversial. Ia percaya bahwa “saat iman mati, begitu juga selibat. Bukti dari kebenaran ini ditemukan dalam berbagai gerakan skismatik yang muncul dalam Gereja. Salah satu institusi pertama yang diserang oleh berbagai gerakan ini adalah selibat Klerus.”[34] Jika pernyataan ini diartikan secara blak-blakan, kesimpulan logisnya adalah bahwa Gereja-gereja Kristen Timur, yang memiliki tradisi para Imam yang berkeluarga dan tidak berpantang hubungan seksual, memiliki iman yang lemah atau mungkin iman yang mati.

Dengan menampilkan bukti-bukti dari Gereja Latin, dalam penilaian saya Kardinal Stickler telah berhasil menunjukkan bahwa di Barat benih-beih selibat klerus berasal dari abad ke 4. Bagaimanapun, ia tidak menunjukkan dengan cara yang memuaskan bahwa hal itu berasal dari para Rasul. Sebagaimana dinyatakan oleh buku sang Kardinal sendiri, selama hampir seratus tahun pertama Kekristenan ada suatu kediaman mutlak tentang masalah ini. Jika selibat klerus diajarkan oleh para Rasul, dan juga mungkin dari Kristus sendiri, mengapa pemunculan pertamanya hanya berasal dari abad ke 4.

Fakta bahwa tidak ada dokumentasi mengenai selibat sampai akhir abad ke 4 merupakan masalah serius bagi pernyataan Kardinal Stickler.[35] Sebelum abad ke 4 ada cukup banyak pengaturan mengenai kehidupan klerus. Misalnya, baik Kanon Apostolik (sekitar tahun 217) dan Didascalia (sekitar tahun 250) mengemukakan banyak persyaratan bagi klerus, namun tidak menempatkan batasan apapun mengenai hubungan perkawinan mereka.[36] Klaim bahwa ada semacam penetapan tidak tertulis yang tetap lisan tanpa seorangpun menuliskannya sampai abad ke 4 tidak mungkin untuk dibuktikan.[37]


Bagian III: Praktek Gereja Timur
 Kebanyakan sejarawan meyakini bahwa Gereja-gereja Timur, yang menahbiskan pria berkeluarga, memelihara disiplin yang asli dari Gereja perdana. Tidak perlu disinggung bahwa Kardinal Stickler tidak menyetujui pernyataan ini. Pada bagian ini, ia berargumen bahwa ini juga tradisi apostolic dari Gereja-gereja Timur, yang kemudian secara bertahap ditinggalkan. Dengan ini ia mempermasalahkan disiplin Timur.

Sepanjang bagian ini, Kardinal Stickler bergantung dari penelitian Roman Cholij. Bahkan Kardinal Stickler sendiri menulis pengantar untuk buku Cholij, Clerical Celibacy in East and West. Romo Roman Cholij, seorang Imam Katolik timur yang menulis argumen menolak kekunoan dari disiplin Timur, rupanya menarik perhatian positif dari sejumlah Uskup Latin.[38] Bagaimanapun juga perlu diperhatikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir pemikiran Cholij mengenai masalah ini telah berkembang secara signifikan, dan sekarang ini mempertahankan legitimasi kebiasaan Timur mengenai Imam yang berkeluarga.[39]

Kardinal Stickler sendiri mengakui bahwa tidak ada sinode atau konsili Timur yang pernah mewajibkan pantang hubungan suami istri secara permanen. Namun, ia berargumen bahwa pantang mutlak adalah tradisi tidak tertulis di Timur, yang diteruskan melalui tradisi lisan.[40] Ia mengklaim bahwa tradisi ini kemudian diputus oleh Konsili Trullo, yang berkumpul tahun 691.

Konsili Trullo adalah konsili yang dipanggil oleh Kaisar Yustinus II untuk membuat suatu kanon disipliner bagi Gereja Byzantine. Konsili ini diadakan sebagai pemenuhan dari Konsili Oikumene ke 5 dan 6. Mengenai aktifitas seksual para klerus, Konsili ini setuju dengan Gereja Latin bahwa “hanya boleh ada satu perkawinan yang dilakukan sebelum tahbisan, dan perkawinan itu tidak boleh dilakukan dengan seorang janda atau wanita yang dilarang oleh hukum. Perkawinan pertama setelah tahbisan atau menikah lagi adalah tidak halal. Uskup tidak dapat lagi hidup bersama pasangan mereka, melainkan harus hidup dalam pantang permanen. Di sisi lain, istrinya harus dipelihara dan dinafkahi oleh Gereja.”[41]

Selain itu ada lagi satu perbedaan mendasar antara praktek Gereja Byzantine dan Gereja Latin, yang ditemukan dalam Kanon 13 Konsili Trullo:

“Karena kami tahu bahwa telah diturunkan sebagai peraturan Gereja Roma bahwa mereka yang dipandang layak untuk dimajukan kedalam Diakonat dan Presbiterat harus berjanji untuk tidak lagi hidup bersama isteri mereka, maka kami, memelihara aturan kuno dan kesempurnaan serta tatanan apostolik, memutuskan untuk sekarang dan seterusnya, bahwa pernikahan sah dari pria yang ada dalam tahbisan suci tidak meniadakan persatuan mereka dengan istri mereka atau mencegah mereka untuk berhubungan intim dengan isteri mereka pada waktu-waktu yang cocok.”[42]

Kanon ini secara jelas mengizinkan para imam untuk melanjutkan hubungan seksual dengan isteri mereka. Lebih jauh lagi, Konsili ini mengklaim bahwa inilah ajaran otentik para Rasul. Bagaimanapun juga, Kardinal Stickler percaya bahwa kanon ini merupakan suatu “inovasi.”[43] Dalam pandangannya kanon ini menetapkan suatu disiplin baru yang kemudian menjadi normatif di Timur.

Sebelum melanjutkan pembahasan, kita berhenti sejenak untuk membahas otoritas dan legitimasi dari Konsili Trullo. Kardinal Stickler menggambarkannya sebagai perkumpulan pemberontak yang menyimpang dari ajaran para Rasul kudus.[44] Namun sejak masa Paus Yohanes VIII, Kepausan telah menganggap kanon-kanon Trullo mengikat bagi orang-orang Kristen Byzantine, Katolik dan Ortodoks. Faktanya adalah sampai pada tahun 1949 saat Paus Pius XII mengeluarkan sebuah Hukum Kanon yang tidak lengkap (hanya parsial saja) bagi Gereja-gereja Timur, Konsili Trullo dianggap sebagai sumber yang definitif bagi hukum perkawinan orang-orang Katolik Timur dalam tradisi Byzantine.[45]

Bahkan pada masa kini pun para Paus tetap menunjukkan rasa hormat terhadap Konsili Trullo. Dalam alinea kedua Konstitusi Apostolik Sacri Canones, Paus Yohanes Paulus II secara eksplisit mengakui nilai-nilai yang dicapai oleh Konsili Trullo. Pengakuan Kepausan itu tentu tidak akan pernah diberikan kepada sebuah konsili yang menghapuskan Tradisi Apostolik yang asli. Pada kenyataannya, aturan-aturan Konsili Trullo cukup konservatif. Bahkan menurut seorang kanonis Latin yang terkenal Frederick McManus, para Bapa Konsili “sulit sekali memikirkan sebuah inovasi. Sebaliknya mereka meneguhkan suatu disiplin yang sudah ada dari masa lalu.”[46]

Namun Kardinal Stickler berkeras bahwa para Bapa Konsili sedang menciptakan inovasi. Ia percaya bahwa hal baru ini diperkenalkan dalam kanon 13 “yang merupakan dasar bagi kewajiban yang baru dan definitif mengenai selibat dalam Gereja-gereja Oriental.” [47] Walaupun begitu, Kardinal merasa masih menemukan jejak persyaratan asli selibat yang mutlak dalam peraturan itu sendiri. Misalnya, ia menulis bahwa “sungguh sulit dimengerti mengapa Gereja Timur masih mempertahankan persyaratan bahwa mereka yang akan ditahbiskan hanya boleh menikah sekali seumur hidup. Sebagaimana telah dibahas, hal ini hanya mungkin dalam kerangka komitmen pantang mutlak setelah tahbisan.” [48]
Sebenarnya ada penjelasan yang jauh lebih sederhana mengenai persyaratan ini. Dalam tradisi teologi Timur, pernikahan diyakini bersifat tetap. Sangat tetap, sehingga, ikatan perkawinan ini meluas sampai ke hidup setelah kematian. Maka pernikahan kembali, bahkan setelah kematian pasangan, dianggap tidak ideal. [49] Orang yang memasuki pernikahan kedua seringkali dipandang rendah.[50] Karena kepercayaan ini maka klerus disyaratkan hanya dapat menikah sekali. Mereka diharapkan menjadi contoh bagi orang awam dalam kesetiaan pernkawinan.[51]

Setelah memeriksa bukti-bukti dari Kekristenan Timur, Kardinal Stickler menyimpulkan bahwa “tradisi Gereja Katolik di Barat adalah tradisi yang asli. Fakta-fakta bahwa tradisi Barat tetap murni bisa dilacak kembali ke para Rasul dan didasarkan pada kesadaran yang hidup dalam seluruh Gereja awali.”[52] Bagi saya, pernyataan ini jauh dari bukti-bukti, sebagaimana dinyatakan oleh salah satu kritik terhadap karya Cochini “saat dihadapkan dengan masalah selibat klerus, obyektifitas sejarah berubah menjadi sesuatu yang tidak jelas.”[53]

Jika seseorang hendak membuka kembali tradisi yang diajarkan oleh para Rasul, kesaksian dari Gereja-gereja Timur sangatlah penting. Menurut tradisi hanya satu dari dua belas Rasul yang pergi ke Barat, Petrus. Sebelas lainnya mendirikan komunitas-komunitas Kristen di berbagai wilayah Timur, sebagaimana juga dilakukan oleh Petrus dan Paulus sebelum perjalanan mereka ke Barat. Berbagai Sinode dan Konsili telah diadakan di Timur sebelum Sinode Trullo, banyak diantara sinode dan konsili itu menjelaskan kewajiban-kewajiban Klerus. Semua sinode itu tidak pernah menyebutkan pantang mutlak sebagai persyaratan bagi Imam atau Diakon.[54] Sesungguhnya walaupun tidak tertulis, tradisi Apostolik ini sangat kuat di Timur.

Hal yang lebih penting adalah, Kardinal Stickler mengatakan bahwa Sinode Trullo “merupakan dasar bagi kewajiban yang baru dan definitif mengenai selibat dalam Gereja-gereja Timur.” [55] Namun, Sinode Trullo hanya mempengaruhi Gereja-gereja Timur dari tradisi Byzantine. Berbagai Gereja-gereja Timur lainnya tidak punya urusan dengan Sinode Trullo, dan tidak terikat oleh kanon-kanonnya.[56] Sebagai gambaran, ada banyak Gereja-gereja Timur yang tidak terlibat dalam Sinode Trullo namun memiliki tradisi penahbisan pria berkeluarga dengan tetap mempertahankan hubungan perkawinan yang normal dengan istri mereka: Gereja Assyria Timur, Gereja Armenia Apostolik, Gereja Ortodoks Koptik, Gereja Ortodoks Syria, Gereja Ortodoks Malankara, Gereja Ortodoks Eritrea, dan Gereja Katolik Maronite. Kesaksian Gereja Katolik Maronite sangat penting, terutama karena Gereja ini tidak pernah memutuskan persekutuan dengan Roma, namun tetap mempertahankan penahbisan pria berkeluarga sampai hari ini.

Semua Gereja-gereja ini tidak punya urusan dengan Sinode Trullo. Namun, mereka semua menjalankan disiplin yang sama dengan Gereja-gereja dari tradisi Byzantine. Lebih lagi, mereka semua mengklaim bahwa tradisi ini diwariskan oleh para Rasul kepada mereka. Bukti yang jauh lebih meyakinkan adalah kenyataan bahwa sepanjang milenium pertama Gereja-gereja ini seringkali terlibat perselisihan satu sama lain, dan hubungan antara mereka seringkali tidak baik. Jika salah satu dari Gereja-gereja ini telah meninggalkan tradisi Apostolik, maka yang Gereja-gereja yang lain akan segera mengecamnya.[57] Maka jelaslah, bahwa kesaksian suara bulat (karena tak pernah ada masalah mengenai penahbisan pria berkeluarga) dari seluruh Kekristenan Timur menentang kewajiban selibat sebagai tradisi yang diajarkan oleh para Rasul.


Bagian IV: Dasar Teologis
Pada bagian akhir bukunya Kardinal Stickler bergerak melampaui argumen historis yang telah ia gunakan sampai sejauh ini. Sekarang ia berusaha menjelaskan dasar teologis di balik selibat klerus. Dia mengutip sejumlah ayat Kitab Suci di mana ia membangun dasar pernyataannya. Dalam surat pertama kepada orang di Korintus, St. Paulus menulis, “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa”[58]. Menurut sang Kardinal, “Jika pantang hubungan intim dikenakan kepada awam agar mereka dapat memiliki waktu untuk berdoa, betapa lebihnya kewajiban para imam, yang berada dalam harus siap dalam keadaan murni pada saat mempersembahkan kurban dan melayani baptisan.”[59]

Anehnya, saat mengutip kalimat ini dari Kitab Suci, sang Kardinal mengabaikan bagian kedua ayat ini. Dalam paruh kedua ayat ini St. Paulus memperingatkan supaya pasangan “kembali hidup bersama, supaya iblis jangan menggodai kamu karena kamu tidak tahan bertarak.”[60] Maka, St. Paulus sesungguhnya memperingatkan pasangan agar jangan berpantang hubungan intim secara permanen dalam perkawinan. Dalam terang pernyataan ini, mustahillah para Rasul akan menuntut pantang hubungan intim yang sempurna dari pasangan suami istri, bahkan jika sang suami adalah imam tertahbis.

Kardinal Stickler percaya bahwa alasan utama bagi selibat klerus adalah “kefektifan doa syafaat oleh pelayan tertahbis.” Hal ini “berpusat pada penyerahan diri kepada Allah, pada kemungkinan berdoa terus-menerus dan sepenuhnya bebas dalam pelayanan pastoral dan pelayanan Gereja.”[61] Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan penting: Mengapa syafaat seseorang menjadi kurang efektif karena dia berhubungan badan dalam perkawinannya?[62] Kardinal Stickler tidak menyediakan jawaban apapun atas pertanyaan ini.

Kardinal Stickler juga mengemukakan argumen selibat berdasarkan teladan Kristus. Bahwa Imam menjadi simbol dari pribadi Kristus, dan menjadi Kristus yang lain. Kardinal menulis “Kristus menghendaki jiwa, hati dan tubuh Imam-imam-Nya.” Kristus “menghendaki kemurnian dan pantang sebagai tanda bahwa Imam tidak lagi hidup menurut daging melainkan menurut Roh.”[63] Sementara hal ini sungguh selaras dengan tradisi teologis Latin, dalam tradisi Timur orang yang secara lebih sempurna menyimbolkan Kristus bukanlah para Imam, melainkan para biarawan dan biarawati. Dalam tradisi Timur pembagian yang ekslusif bukanlah antara Imamat dan Pernikahan, melainkan antara Pernikahan dan Hidup Membiara.[64]

Saat Kardinal Stickler menutup bukunya, ia mengajukan sebuah pertanyaan mendasar: “Kita harus introspeksi jika selibat didasarkan pada “kegunaannya”. Tetapi, sesungguhnya selibat itu sungguh perlu dan tidak terpisahkan dari imamat.”[65] Tanpa diragukan ia ingin kita menjawab pertanyaan ini dengan nada setuju. Tetapi hal itu tidaklah mungkin dalam terang ajaran Gereja Katolik sekarang ini.

Kardinal Stickler berusaha membuktikan terlalu jauh. Jika ia sukses menunjukkan bahwa kewajiban selibat bagi Klerus adalah tradisi apostolik, maka hal ini berarti Gereja tidak punya otoritas untuk mengubahnya. Kenyataannya adalah Gereja Katolik sudah mengubah disiplin ini secara cukup signifikan. Hari ini Gereja Latin menahbiskan pria berkeluarga menjadi Diakon secara rutin. Dan pria-pria ini tidak diminta untuk berpantang dari hubungan intim dalam pernikahannya, tetapi semua teks yang digunakan Kardinal diarahkan untuk menyimpulkan bahwa ada pantang hubungan intim yang mutlak bagi para Diakon dan isteri mereka. Lebih lagi, teks-teks itu juga mengklaim sebagai bagian dari tradisi apostolik. Juga, dalam beberapa dekade ini Gereja Latin telah menahbiskan ratusan mantan klerus Episkopal sebagai Imam. Dan lagi, para pria ini tidak perlu berhenti berhubungan badan dengan isteri mereka.

Gereja Katolik juga telah mengakui secara resmi legitimasi penuh dari tradisi penahbisan pria berkeluarga di Timur.[66] Bukti atas hal ini tidak perlu jauh-jauh selain dari Hukum Kanon bagi Gereja-gereja Timur yang diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1990. Kanon 373 secara otoritatif menyatakan bahwa “kebiasaan suci penahbisan pria berkeluarga   dalam Gereja perdana dan dalam tradisi Gereja-gereja Timur yang berlangsung berabad-abad harus dipegang penuh hormat.”[67] Legitimasi disiplin ini juga diakui dalam Katekismus Gereja Katolik no. 1580.

Jadi, selibat Klerus adalah sebuah disiplin yang dapat diatur dan diperintah oleh Gereja. Fakta ini menentang pernyataan bahwa kewajiban selibat ini merupakan “tradisi yang dituntut oleh para Rasul”[68] Jadi apakah selibat Klerus “sungguh perlu dan tidak terpisahkan bagi imamat?”[69] Jawabannya adalah “Tidak!”


Artikel ini pertama kali muncul dalam Jurnal Gereja-gereja Timur.

Bibliography
"African Code." In The Seven Ecumenical Councils, edited by Philip Schaff and Henry Wace. Grand Rapids, MI: Eerdman's, 1991.
Balducelli, Roger. "The Apostolic Origins of Clerical Continence: A Critical Appraisal of a New Book." Theological Studies 43, no. 4 (1982): 693-705.
Cahill, Lisa Sowle. Sex, Gender, and Christian Ethics. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
Callam, Daniel. Review of Clerical Celibacy in East and West. Journal of Theological Studies 41 (1990): 725-29.
Cholij, Roman M.T. "Celibacy, Married Clergy, and the Oriental Code." Eastern Churches Journal 3, no. 3 (1996): 91-117.
""". "An Eastern Catholic Married Clergy in North America." Eastern Churches Journal 4, no. 2 (1997): 23-58.
Code of Canons of the Eastern Churches. Translated by Canon Law Society of America. Washington: Canon Law Society of America, 1990.
"Council in Trullo." In The Seven Ecumenical Councils, edited by Philip Schaff and Henry Wace. Grand Rapids, MI: Eerdman's, 1991.
Coyle, J. Kevin. "Recent Views on the Origins of Clerical Celibacy: A Review of the Literature from 1980-1991." Logos 34 (1993): 480-531.
Erickson, John H. "The Council in Trullo: Issues Relating to the Marriage of Clergy." Greek Orthodox Theological Review 40, no. 1-2 (1995): 183-99.
Graham, James K. "Compulsory Celibacy and the Disruption of Intimacy." Eastern Churches Journal 4, no. 2 (1997): 59-72.
Hastings, Adrian. "The Origins of Priestly Celibacy." Heythrop Journal 24 (1983): 171-77.
Keleher, Serge. Email, March 25, 2000.
Mackin, Theodore. Divorce and Remarriage. New York: Ramsey, 1984.
McManus, Frederick. "The Council in Trullo: A Roman Catholic Perspective." Greek Orthodox Theological Review 40, no. 1-2 (1995): 79-96.
Miller, Michael J. "Only Men Can Be Deacons." National Catholic Register, December 9-15 2001, 9.
Shivanandan, Mary. Crossing the Threshold of Love. Wahington: Catholic University of America Press, 199.
Slesinski, Robert. "Lex Continentia: The Need for an Orthodox Response." Saint Vladimir's Theological Quarterly 37, no. 1 (1993): 90-97.
Stickler, Alfons Maria Cardinal. The Case for Clerical Celibacy. Translated by Brian Ferme. San Francisco: Ignatius Press, 1995.  

Endnotes

[1] Alfons Maria Cardinal Stickler, The Case for Clerical Celibacy, trans. Brian Ferme (San Francisco: Ignatius Press, 1995), 80.
[2] Ibid., back cover.
[3] Ibid., 7.
[4] Ibid., 91.

[5] Ibid., 13.
[6] Ibid., 12.
[7] Ibid., 14.
[8] Ibid., 8.
[9] Ibid.
[10] Michael J. Miller, "Only Men Can Be Deacons," National Catholic Register, December 9-15 2001.
[11] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 18.
[12] Canon 33 of Elvira, quoted in Ibid., 22.
[13] Ibid., 23.
[14] Daniel Callam, review of Clerical Celibacy in East and West, Journal of Theological Studies 41 (1990): 725.
[15] J. Kevin Coyle, "Recent Views on the Origins of Clerical Celibacy: A Review of the Literature from 1980-1991," Logos 34 (1993): 499.
[16] Canon 2 of Carthage, quoted in Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 24.
[17] Ibid.
[18] Roger Balducelli, "The Apostolic Origins of Clerical Continence: A Critical Appraisal of a New Book," Theological Studies 43, no. 4 (1982): 693.
[19] Coyle, "Recent Views on the Origins of Clerical Celibacy: A Review of the Literature from 1980-1991," 488.
[20] "African Code," in The Seven Ecumenical Councils, ed. Philip Schaff and Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers (Grand Rapids, MI: Eerdman's, 1991), 454.
[21] Serge Keleher, Email, March 25, 2000.
[22] Lisa Sowle Cahill, Sex, Gender, and Christian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 133.
[23] Ibid., 134.
[24] See Ibid., 129-41.
[25] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 30.
[26] Epist. 10 2:6, quoted in Coyle, "Recent Views on the Origins of Clerical Celibacy: A Review of the Literature from 1980-1991," 494.
[27] For an overview of the Catholic Church"s present understanding of marriage and sexuality, which is overwhelmingly positive, see Mary Shivanandan, Crossing the Threshold of Love (Wahington: Catholic University of America Press, 199).
[28] Coyle, "Recent Views on the Origins of Clerical Celibacy: A Review of the Literature from 1980-1991," 495.
[29] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 31-32.
[30] Ibid., 40.
[31] Ibid., 66.
[32] Ibid., 42.
[33] Ibid., 54.
[34] Ibid., 51.
[35] Coyle, "Recent Views on the Origins of Clerical Celibacy: A Review of the Literature from 1980-1991," 485.
[36] Ibid.
[37] Ibid.: 502.
[38] Robert Slesinski, "Lex Continentia: The Need for an Orthodox Response," Saint Vladimir's Theological Quarterly 37, no. 1 (1993): 96.

[39] See Roman M.T. Cholij, "An Eastern Catholic Married Clergy in North America," Eastern Churches Journal 4, no. 2 (1997).
[40] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 77.
[41] Ibid., 72-73.
[42] "Council in Trullo," in The Seven Ecumenical Councils, ed. Philip Schaff and Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers (Grand Rapids, MI: Eerdman's, 1991), 371.
[43] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 80.
[44] Ibid., 75-76.
[45] See Frederick McManus, "The Council in Trullo: A Roman Catholic Perspective," Greek Orthodox Theological Review 40, no. 1-2 (1995).
[46] Ibid.: 80.
[47] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 77.
[48] Ibid., 79-80.
[49] Both the Eastern and Western Church Fathers taught that a single marriage should be the norm for Christians, even after the passing away of a spouse. For an overview of the Patristic texts on the subject, see Theodore Mackin, Divorce and Remarriage (New York: Ramsey, 1984).
[50] John H. Erickson, "The Council in Trullo: Issues Relating to the Marriage of Clergy," Greek Orthodox Theological Review 40, no. 1-2 (1995): 186.
[51] Slesinski, "Lex Continentia: The Need for an Orthodox Response," 94.
[52] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 77.
[53] Balducelli, "The Apostolic Origins of Clerical Continence: A Critical Appraisal of a New Book," 694.
[54] Adrian Hastings, "The Origins of Priestly Celibacy," Heythrop Journal 24 (1983): 174.
[55] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 77.
[56] Keleher.
[57] Ibid.
[58] I Corinthians 7:5, NAB.
[59] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 31.
[60] I Corinthians 7:5, NAB.
[61] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 99.
[62] Balducelli, "The Apostolic Origins of Clerical Continence: A Critical Appraisal of a New Book," 701.
[63] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 97.
[64] James K. Graham, "Compulsory Celibacy and the Disruption of Intimacy," Eastern Churches Journal 4, no. 2 (1997): 62.
[65] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 106.
[66] See Roman M.T. Cholij, "Celibacy, Married Clergy, and the Oriental Code," Eastern Churches Journal 3, no. 3 (1996).
[67] Code of Canons of the Eastern Churches, trans. Canon Law Society of America (Washington: Canon Law Society of America, 1990), Canon 373.
[68] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 91.
[69] Ibid., 106.

Diterjemahkan oleh Daniel Pane.