Rabu, 26 Februari 2014

Doa Syukur Agung Gereja Latin & Gereja Timur


Gereja Barat dan Timur memiliki cara penempatan yang berbeda untuk epiklese konsekratoris. Jika Gereja Barat menempatkan epiklese konsekratoris sebelum kisah Institusi, Gereja Timur justru meletakkan epiklese konsekratoris tersebut setelah kisah Institusi. Menurut sejarahnya, pernah terjadi diskusi yang amat ramai mengenai kapan roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Sejak zaman para Bapa Gereja, Gereja Timur lebih menekankan bagian epiklese ini sebagai saat kapan terjadi perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Para Bapa Gereja Latin memandang bahwa roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus pada saat kisah dan kata-kata Institusi diucapkan. Pandangan ini bertahan sangat lama dalam Gereja Barat. Ajaran itu masih terasa hingga hari ini, ketika orang memandang konsekrasi sebagai yang terjadi pada saat kisah dan kata-kata Institusi diucapkan oleh imam. Di satu pihak ajaran ini tetap dipertahankan di Gereja Barat hingga hari ini. Namun, di lain pihak harus dikatakan bahwa pada umumnya sekarang Gereja memandang Doa Syukur Agung sebagai satu kesatuan dan dalam keseluruhan Doa Syukur Agung itulah roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Pandangan terakhir ini merupakan buah dari gerakan pembaruan liturgi dan teologi pada abad XX yang dimahkotai dengan Konsili Vatikan II. Semangat liturgi Vatikan II lebih mau menempatkan kembali seluruh Doa Syukur Agung sebagai satu kesatuan doa yang bersifat anamnesis dan epiklesis. Dengan kata lain, kini dipahami bahwa peristiwa perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus berlangsung dalam keseluruhan Doa Syukur Agung itu sendiri. Cara pandang yang melihat Doa Syukur Agung sebagai satu kesatuan dan keseluruhan itu sebenarnya lebih mampu mendamaikan dua cara pandang yang berbeda antara Gereja Barat dan Gereja Timur.

Sumber: Martasudjita, E. Pr., Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Yogyakarta: Kanisius 2005.