Oleh Anthony T. Dragani
Walaupun sebagian besar orang tidak menyadarinya, selama beberapa dekade terakhir telah ada suatu usaha baru yang dilakukan untuk mempertahankan kebiasaan Latin mengenai kewajiban selibat bagi para Imam. Dengan mengesampingkan argumentasi sosiologis yang kita semua telah akrab dengannya, pembelaan baru atas disiplin ini bersandar pertama-tama atas suatu dasar historis. Walaupun tulisan-tulisan mereka tidak mendapat perhatian yang besar, namun memiliki pendukung setia pada sejumlah kalangan Katolik.
Pada dasarnya saya tidak ambil pusing mengenai pembelaan tradisi Latin mengenai kewajiban selibat bagi para Imam. Bagaimanapun, itu adalah tradisi mereka dan mereka memiliki hak untuk mempertahankannya. Tetapi, literatur-literatur baru ini melangkah lebih jauh dan mempertanyakan legitimasi tradisi Timur yang menahbiskan pria-pria berkeluarga menjadi Imam. Pandangan ini diwakili oleh buku The Case for Clerical Celibacy karangan Kardinal Alfons Maria Stickler. Buku ini pada dasarnya mempopulerkan pandangan dari dua pengarang lainnya, yang diolah sedemikian sehingga menjadi lebih mudah dibaca. Tujuan dari karangan Kardinal Stickler adalah untuk menegaskan bahwa kewajiban selibat adalah disiplin yang asli dan bahwa tradisi yang dipraktekkan di Timur adalah sebuah “inovasi” yang tidak tepat.[1]
Sebagai orang Katolik Timur saya merasa terganggu dengan klaim ini. Sejarah Kekatolikan Timur di Amerika Utara telah ditandai dengan berbagai usaha untuk memaksakan kewajiban selibat kepada kami, dan upaya itu hampir selalu berakhir tragis (pada masa pra-Vatikan II para Uskup Latin Amerika meminta agar dalam ritus Timur hanya para Imam berselibat saja yang melayani umat Katolik Timur di sana, hal ini menimbulkan kekesalan bagi umat Timur dan mengakibatkan hampir separuh dari umat Katolik Timur di Amerika berpindah menjadi Ortodoks- Penerjemah). Kami telah berjuang keras untuk waktu lama guna meneguhkan legitimasi tradisi kami yang menahbiskan pria berkeluarga menjadi Imam, dan sekarang masalah ini menjadi perhatian utama yang cukup sensitif. Karena itu, bahwa seorang Kardinal yang berpengaruh telah menulis sebuah buku yang menentang legitimasi tradisi kami membuat saya merasa tidak nyaman.
Siapakah sebenarnya Kardinal Stickler? Menurut biografi di sampul bukunya ia “adalah anggota berbagai akademi dan organisasi akademis teologi internasional. Ia telah menjadi konsultor bagi banyak Konggregasi Kuria Roma, ia adalah anggota komisi persiapan Konsili Vatikan II, dan peritus (penasehat teologis) bagi tiga Komisi Konsili dan anggota komisi persiapan Codex Iuris Canonici”.[2] Hal ini sangat mengesankan untuk membangkitkan kepercayaan akan karya-karyanya. Karena itu, merupakan tugas yang cukup berat untuk mengkritik sebuah buku yang ditulis oleh seorang pejabat Gereja yang kompeten seperti beliau, tetapi sebagai seorang Katolik Timur saya merasa berkewajiban untuk menjawab pernyataan-pernyataannya.
Buku itu sendiri terbagi dalam empat bagian. Bagian I menyampaikan premis dan metodologi yang digunakan. Bagian II menyampaikan detail sejarah selibat dalam Gereja Latin. Bagian III menganalisa tradisi Imam berkeluarga di Timur, dengan penekanan khusus pada Konsili Trullo. Akhirnya, Bagian IV menawarkan suatu teologi selibat. Kita akan memeriksa setiap bagian dari buku itu berdasarkan susunannya.
Bagian I: Konsep Dan Metode
Sejak awal bukunya Kardinal Stickler mengutip suatu mitos yang hendak dihapuskannya: “bahwa selibat klerus diperkenalkan hanya pada awal millennium kedua, terutama oleh Konsili Lateran II pada tahun 1139.”[3] Ini adalah pandangan yang pada umumnya disebarkan oleh para sejarawan sekuler. Sejarawan lain, menurut Kardinal Stickler, menyebut bahwa asal mula selibat klerus berasal dari abad 4. Kardinal Stickler ingin membuktikan klaim yang lebih tegas yaitu bahwa kewajiban selibat bagi klerus adalah Tradisi Apostolik yang “dituntut oleh para Rasul sendiri.[4]
Dalam membuat klaim ini, Kardinal Stickler menyadari bahwa ia harus berhadapan dengan sejumlah besar bukti yang mengarah kepada kebalikannya. Dokumentasi mengenai para Imam dan Uskup yang berkeluarga dalam Gereja Purba terlalu banyak jumlahnya. Bagaimanapun, ia berargumen bahwa sejak saat pria-pria berkeluarga ini ditahbiskan menjadi Diakon mereka berhenti dari semua aktifitas seksual mereka dan hidup sebagai kakak dan adik dengan istri mereka.[5] Hal ini bukanlah selibat dalam arti sebagaimana kita pahami sekarang ini, tetapi dalam arti yang lebih luas, suatu kewajiban “untuk tidak menikah, dan jika sudah menikah ada kewajiban untuk tidak menggunakan hak-hak dari pernikahan.”[6]
Jadi Kardinal Stickler hendak mengklaim bahwa para Rasul mengajar agar para Diakon, Imam, dan Uskup yang menikah harus hidup dalam pantang hubungan seksual yang permanen.[7] Ia menarik tesis ini dari sejumlah penelitian baru mengenai sejarah selibat, dua penelitian semacam itu yang cukup penting adalah: The Apostolic Origins of Priestly Celibacy karangan Christian Cochini, S.J., (1981) dan Clerical Celibacy in East and west karangan Roman Cholic (1988).[8] Ia sangat berutang kepada kedua pengarang ini dan mengambil sebagian besar informasinya dari buku mereka. Kardinal Stickler juga menyesalkan bahwa “penelitian-penelitian belum meresap kepada kesadaran umum atau bahwa penelitian-penelitian ini telah dibungkam sedemikian karena mereka mampu memberikan pengaruh kepada kesadaran umum dengan cara yang tidak diinginkan oleh sejumlah pihak.’ [9] Dalam penulisan bukunya cukup jelas bahwa Kardinal Stickler berharap hendak mempopulerkan hasil penelitian-penelitian ini.
Kerja keras sang Kardinal telah membuahkan hasil. Sejumlah kalangan press Katolik mulai memperakukan klaim itu sebagai suatu fakta. Pada tanggal 13 Maret 2000, National Catholic Register menampilkan suatu tajuk yang menyatakan bahwa kewajiban selibat bagi Klerus merupakan TRadisi Apostolik dan bahwa Gereja-gereja Timur telah menyimpang darinya. Tajuk tersebut bahkan tidak menyebutkan bahwa kebanyakan sejarawan Gereja tidak menyetujui pernyataan tersebut. Baru-baru ini penerbitan yang sama juga menyatakan bahwa di Gereja Perdana istri para Imam dan Uskup diminta untuk mengambil “suatu kaul selibat bersamaan dengan masuknya suami-suami mereka dalam karir pelayanannya.”[10] Pernyataan yang sangat diragukan dari sisi sejarah ini justru digambarkan oleh pengarang sebagai kebenaran sejarah yang diakui.
Satu fakta yang tidak dapat diperdebatkan adalah bahwa tidak ada catatan tertulis dimana para Rasul menuntut semacam pantang atau selibat bagi Klerus. Kardinal Stickler menyadari kesulitan dengan argumennya. Karena itu, dia mengandaikan bahwa hal ini diajarkan sebagai tradisi lisan, yang diwariskan dari generasi ke generasi.[11] Dia secara sistematis memaparkan bukti-bukti untuk pernyataan ini dalam Bagian II.
Bagian II: Perkembangan Dalam Gereja Latin
Pembuktian pertama datang dari Konsili Elvira yang diadakan pada dekade permulaan abad keempat. Berlangsungnya Konsili ini pada era awal itu bersifat sangat menentukan dalam argumennya karena ia menyakini bahwa ajaran Konsili itu menyatakan ajaran Gereja Perdana yang baru saja meninggalkan katakombe (maksudnya masa penganiayaan). Kanon 33 dari Konsili tersebut adalah pengaturan paling awal mengenai pantang hubungan intim bagi klerus. Kanon tersebut berbunyi:
[Kami] memandang baik untuk secara mutlak melarang para Uskup, Imam dan Diakon, yaitu semua Klerus yang terlibat dalam pelayanan di Altar, untuk mengadakan hubungan [seksual] dengan istri mereka dan untuk menghasilkan [procreate] anak; dan jika ada yang berbuat demikian, maka hendaknya ia dikecualikan dari kehormatan Klerus.[12]
Kardinal Stickler berargumen bahwa hukum tertulis ini mencerminkan suatu praktek yang sudah berlangsung sebelumnya.[13] Karena Konsili Elvira berlangsung pada masa awal, maka ia menyimpulkan bahwa pantang hubungan perkawinan mutlak telah diberlakukan oleh Gereja Perdana. Namun, dalam membahas Konsili ini ia lupa mengutip penelitian dasar dari m. Meigne dan Roger Gryson, yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa kanon-kanon Elvira adalah kompilasi dari kanon-kanon sepanjang abad keempat.[14] Kanon 33 pada kenyataannya “berasal dari akhir abad keempat, dan hanya 21 kanon pertama yang benar-benar berasal dari Konsili Elvira.”[15]
Selanjutnya Kardinal Stickler mengarahkan perhatian kita kepada Konsili Karthago, yang berkumpul di tahun 390 AD. Ia tertarik dengan Kanon 2 Konsili ini, yang tampaknya memerintahkan pantang hubungan suami istri bagi Klerus:
Kami berkenan bahwa semua Uskup, Imam dan Diakon, para penjaga kemurnian, berpantang [dari hubungan seksual] dengan istri mereka, agar mereka yang melayani Altar dapat menjaga kemurnian sempurna.[16]
Lebih daripada kanon itu sendiri, Kardinal Stickler memberi perhatian kepada intervensi yang dikenakan kepada kanon itu. Intervensi ini datang dari seorang Uskup Afrika bernama Genetlius, yang tentang dirinya kita mengetahui sangat sedikit”
Uskup Genetlius mengatakan: Sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya, adalah cocok bahwa para Uskup dan Imam Allah yang suci sebagaimana para Lewi, yaitu mereka yang berada dalam pelayanan Sakramen-sakramen Ilahi, menjalankan pantang sempurna, agar mereka dapat memperoleh dalam kesederhanaan penuh apa yang mereka minta dari Allah: apa yang diajarkan para Rasul dan apa yang dipatuhi sejak zaman dulu, marilah juga kita bertekun menjaganya.[17]
Kardinal Stickler menggarisbawahi pernyataan Genetlius bahwa pengajaran ini berasal dari para Rasul. Disni kita memiliki saksi yang menyampaikan argumen mengenai asal-usul Apostolik dari kewajiban selibat klerus. bagaimanapun “ahli kenamaan dalam bidang patristic dan sejarah Franz Xaver Funk menyoroti bahwa para Bapa Gereja kerap mengacu kepada penentapan Apostolik secara terlalu umum, dan mengenakan asal-usul Apostolik kepada penentapan-penetapan yang melalui penelitian sejarah dapat dibuktikan dengan pasti hanya muncul pada waktu yang kemudian.”[18] Jadi, adalah mungkin bahwa Genetlius mengandaikan bahwa disiplin itu memiliki asal-usul Apostolik hanya karena hal itu telah dipraktekan secara luas di wilayahnya. Juga, sebagaimana akan ditunjukkan nanti Gereja Byzantine pun akan menyandarkan diri kepada otoritas para Rasul untuk meneguhkan tradisi mereka dimana para Imam yang telah menikah tetap melanjutkan hubungan suami istri mereka.
Kami juga harus menyatakan bahwa teks kanon yang sesungguhnya secara signifikan jauh lebih longer daripada ungkapan yang digunakan Genetlius dalam intervensinya. Kanon tidak mengenakan asal-usul Apostolik kepada praktek selibat atau pantang kekal hubungan suami istri bagi Klerus yang berkeluarga, kanon tersebut juga tidak memberikan hukuman apapun bagi Klerus yang gagal menjalankannya. Sebaliknya kanon hanya menyatakan “Kami berkenan”. Kanon juga tidak secara eksplisit menyatakan berapa lama Klerus harus berpantang dari istri mereka dan hal ini dapat berarti hanya pantang dalam periode tertentu saja.[19]
Kemudian Kardinal Stickler mengacu kepada Kanon Afrika tahun 419 (Codex Canonum Ecclesiae Africanae). Kanon 25 menyatakan:
“Karena kami telah mendengar ketidaktahanan (untuk berpantang seksual) dari sejumlah Klerus, bahkan Lektor, terhadap istri mereka, maka kami memandang baik bahwa apa yang ditetapkan dalam berbagai Konsili harus diteguhkan, yaitu, bahwa para Subdiakon yang menjaga Misteri-misteri suci, dan Diakon, dan Penatua (Imam), sebagai Uskup menurut penetapan sebelumnya, harus berpantang dari istri mereka, sehingga mereka berpikir bahwa mereka tidak memiliki (istri): dan jika mereka tidak bertindak demikian, hendaklah mereka dikeluarkan dari jabatan mereka. Tetapi kepada Klerus lainnya hal ini diberlakukan kepada mereka, kecuali jika mereka telah mencapai usia dewasa.[20]
Dari kanon ini dapat disimpulkan bahwa pantang hubungan intim bagi Klerus di Gereja Afrika tidak dibatasi hanya kepada Uskup dan Imam, tetapi juga diperluas kepada Diakon dan Subdiakon. Namun, Konsili tidak mensyaratkan Lektor tertahbis untuk menjalankan pantang hubungan intim, walaupun mereka juga dianggap Klerus. Mengapa mereka dikecualikan dari dispilin ini dan para Subdiakon tidak? Alasan yang diberikan adalah Subdiakon “menjaga Misteri-misteri suci”. Tidak seperti Lektor, para Subdiakon benar-benar memasuki panti imam (sanctuary) dan melayani di Altar. Mereka menyentuh bejana-bejana suci.
Jika logika dibalik kanon ini hendak dibawa kepada kesimpulan logisnya, maka implikasinya akan lebih luas daripada sekedar kewajiban selibat bagi para Imam.[21] Saat ini Gereja Latin umum menggunakan kaum awam sebagai pembagi Komuni luarbiasa. Orang-orang ini, sering kali mereka adalah orang yang berkeluarga, memasuki panti imam dan memegang bejana-bejana kudus. Lebih lagi, mereka juga menyentuh Ekaristi itu sendiri. Berdasarkan regulasi ini mereka harus berpantang kekal dari hubungan perkawinan mereka. Tetapi, pada hari ini tidak seorangpun berani mengajukan persyaratan semacam itu.
Jika kita mengamatinya lebih teliti jelaslah bahwa Kanon 25 mengindikasikan adanya suatu kepercayaan akan kemurnian ritual. Mereka yang memasuki panti imam dan menyentuh bejana-bejana suci harus murni secara ritual. Pandangan ini mengandung gagasan bahwa hubungan intim suami istri dengan suatu cara tidak murni secara ritual. Menurut Lisa Sowle Cahill, dalam Yudaisme hukum-hukum kemurnian berfungsi sebagai “suatu cara untuk memastikan bahwa proses tubuh yang secara erat berkaitan dengan kehidupan dan kematian (seperti halnya hubungan intim berkaitan dengan kehidupan baru) dipisahkan dari kehadiran Alah yang suci dan tidak berubah.”[22] Begitu juga “hukum kemurnian cenderung melayani suatu ideology bagi kaum elit yang mendefinisikan siapa dan apa yang tidak murni, dan dari situ siapa yang berada dalam status yang lebih rendah, dan konsekuensinya dijauhkan dari penguasaan politik dan materi.”[23] Tidaklah mengejutkan jika konsep kemurnian ritual juga memunculkan dirinya dalam sejumlah sektor Kekristenan.[24]
Setelah memeriksa peraturan dari abad keempat yang relevan, kemudian Kardinal mengarah kepada surat yang dikenakan kepada St. Siricius, yang menjadi Uskup Roma tahun 384 sampai 399. Menurut Kardinal Stickler, Siricius “menyatakan bahwa banyak Imam dan Diakon yang bahkan setelah pernikahan memiliki anak bertindak melawan hukum yang tidak dapat ditarik kembali yang merupakan hukum yang mengikat sejumlah besar Klerus sejak permulaan Gereja.”[25] Menariknya, buku ini bahkan tidak menampilkan suatu kutipan pun dari surat Siricius. Sekilas teks dari surat itu sebenarnya dapat menunjukkan motivasi Siricius.
“Akankah seorang yang cemar berani mengotori apa yang kudus, ketika apa yang kudus hanya dikhususkan bagi orang-orang kudus. Maka, mereka yang akan melayani kurban di Bait, agar tetap murni, dipandang cocok untuk tetap dalam Bait Allah selama tahun pelayanan mereka, dan tidak melakukan apapun dengan keluarga mereka. Bahkan para penyembah berhala, untuk melakukan tindakan kafir mereka dan mempersembahkan kurban kepada setan-setan, mewajibkan diri mereka berpantang terhadap wanita, jika hubungan seksual adalah suatu pencemaran, maka Imam harus bersiap untuk tugas-tugas surgawi, sebagai orang yang menjadi pengantara bagi dosa sesamanya; jika tidak, ia akan menjadikan dirinya sendiri tidak pantas.”[26]
Sekali lagi kita melihat bahasa kemurnian ritual disini. Hubungan seksual dalam suatu pernikahan dipandang sebagai “pencemaran” sebuah gambaran yang sungguh jauh berbeda dari pengajaran Katolik sekarang ini.[27] Siricius menulis dengan suatu asumsi bahwa hubungan intim dalam perkawinan mengurangi kekudusan tubuh.[28] Ini adalah suatu pandangan yang tidak dianut oleh Magisterium Gereja pada masa kini.
Kardinal juga menaruh perhatian pada penafsiran Siricius mengenai sejumlah teks-teks Kitab Suci. 1 Timotius 3: 2-5 kerap digunakan sebagai bukti menentang kewajiban selibat: “Karena itu seorang Uskup haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu istri (married only once), seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya; jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus keluarga Allah?” Menurut Siricius, pembatasan Paulus bahwa Uskup hanya menikah sekali “tidak berarti bahwa ia dapat terus hidup dengan keinginan untuk memiliki anak; tetapi penekanan Santo Paulus akan hal itu mengacu kepada pantang dimasa selanjutnya” setelah penahbisan seseorang yang sebelumnya menikah, tidak ada jaminan bahwa pantang yang diberlakukan akan dijalankan jika orang itu menikah kembali.”[29]
Dalam penafsiran Siricius mereka yang menikah kembali tidak memiliki disiplin untuk menjalankan pantang kekal yang dituntut oleh Tahbisan Suci. Maka, Kardinal Stickler melihat dalam kalimat itu bukan suatu bukti bagi imam yang berkeluarga tetapi peneguhan bahwa klerus yang berkeluarga harus menghentikan semua relasi seksual dengan istri mereka. Ini adalah penafsiran yang menarik, tetapi sulit untuk dikatakan bahwa itulah satu-satunya arti yang mungkin. Bahkan sulit dikatakan bahwa itulah artinya. Kebanyakan pakar Kitab Suci menafsirkan pernyataan suami dari satu istri hanya untuk menegaskan kesetiaan biasa pada perkawinannya (paham ini dianut oleh penerjemah TB-LAI sehingga dalam bahasa Indonesia kita membaca teks itu sebagai “suami dari satu istri” dan bukan “menikah hanya sekali”).
Setelah menampilkan bukti dari Siricius, Kardinal Stickler kemudian menampilkan pernyataan serupa dari Bapa-bapa Gereja Barat yang kemudian. Karena hal ini berasal dari periode yang kemudian, kami tidak ambil pusing dengan mereka di sini. Akhirnya Kardinal Stickler tiba pada suatu kesimpulan:
Dari analisa yang telah kami lakukan menyangkut praktek disiplin dari Gereja Barat, kami dapat menyampaikan kesimpulan berikut: bahwa tiga tingkatan pelayanan klerus yang lebih tinggi diwajibkan untuk berpantang kekal, kewajiban semacam itu dapat dilacak kepada awal mula Gereja dan telah diwariskan sebagai bagian dari tradisi lisan. Setelah periode penganiayaan Gereja dan terutama karena meningkatnya jumlah orang yang masuk agama Kristen, yang juga berarti peningkatan jumlah tahbisan, kami menemukan perlawanan terhadap kewajiban yang sulit ini. Berhadapan dengan perlawanan ini, baik para Paus dan berbagai Konsili menegaskan dengan ketegasan yang semakin meningkat akan kewajiban berpantang melalui berbagai hukum dan peraturan tertulis.[30]
Bagaimanapun, ia mengakui bahwa “prakteknya, sekalipun di Barat, tidak selalu sejalan dengan perintah itu.[31] Berlawanan dengan peraturan sejumlah Diakon Imam dan Uskup yang berkeluarga tetap melanjutkan hubungan intim dalam perkawinan mereka. Berhadapan dengan pengabaian semacam ini Gereja Latin mulai menahbiskan hanya pria yang tidak menikah sebagai Klerus tinggi. Para Imam yang berkeluarga “selalu berada dalam bahaya” tidur dengan istri mereka.[32] Maka”seterusnya konsep selibat, yang berarti kewajiban pantang sempurna bagi yang sudah menikah sebelum tahbisan atau larangan untuk menikah bagi yang ingin ditahbiskan sekarang diperketat sampai pada pengertian yang muncul dimasa kemudian.”[33]
Di akhir bagian II Kardinal Stickler membuat suatu pengamatan yang menarik namun kontroversial. Ia percaya bahwa “saat iman mati, begitu juga selibat. Bukti dari kebenaran ini ditemukan dalam berbagai gerakan skismatik yang muncul dalam Gereja. Salah satu institusi pertama yang diserang oleh berbagai gerakan ini adalah selibat Klerus.”[34] Jika pernyataan ini diartikan secara blak-blakan, kesimpulan logisnya adalah bahwa Gereja-gereja Kristen Timur, yang memiliki tradisi para Imam yang berkeluarga dan tidak berpantang hubungan seksual, memiliki iman yang lemah atau mungkin iman yang mati.
Dengan menampilkan bukti-bukti dari Gereja Latin, dalam penilaian saya Kardinal Stickler telah berhasil menunjukkan bahwa di Barat benih-beih selibat klerus berasal dari abad ke 4. Bagaimanapun, ia tidak menunjukkan dengan cara yang memuaskan bahwa hal itu berasal dari para Rasul. Sebagaimana dinyatakan oleh buku sang Kardinal sendiri, selama hampir seratus tahun pertama Kekristenan ada suatu kediaman mutlak tentang masalah ini. Jika selibat klerus diajarkan oleh para Rasul, dan juga mungkin dari Kristus sendiri, mengapa pemunculan pertamanya hanya berasal dari abad ke 4.
Fakta bahwa tidak ada dokumentasi mengenai selibat sampai akhir abad ke 4 merupakan masalah serius bagi pernyataan Kardinal Stickler.[35] Sebelum abad ke 4 ada cukup banyak pengaturan mengenai kehidupan klerus. Misalnya, baik Kanon Apostolik (sekitar tahun 217) dan Didascalia (sekitar tahun 250) mengemukakan banyak persyaratan bagi klerus, namun tidak menempatkan batasan apapun mengenai hubungan perkawinan mereka.[36] Klaim bahwa ada semacam penetapan tidak tertulis yang tetap lisan tanpa seorangpun menuliskannya sampai abad ke 4 tidak mungkin untuk dibuktikan.[37]
Bagian III: Praktek Gereja Timur
Kebanyakan sejarawan meyakini bahwa Gereja-gereja Timur, yang menahbiskan pria berkeluarga, memelihara disiplin yang asli dari Gereja perdana. Tidak perlu disinggung bahwa Kardinal Stickler tidak menyetujui pernyataan ini. Pada bagian ini, ia berargumen bahwa ini juga tradisi apostolic dari Gereja-gereja Timur, yang kemudian secara bertahap ditinggalkan. Dengan ini ia mempermasalahkan disiplin Timur.
Sepanjang bagian ini, Kardinal Stickler bergantung dari penelitian Roman Cholij. Bahkan Kardinal Stickler sendiri menulis pengantar untuk buku Cholij, Clerical Celibacy in East and West. Romo Roman Cholij, seorang Imam Katolik timur yang menulis argumen menolak kekunoan dari disiplin Timur, rupanya menarik perhatian positif dari sejumlah Uskup Latin.[38] Bagaimanapun juga perlu diperhatikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir pemikiran Cholij mengenai masalah ini telah berkembang secara signifikan, dan sekarang ini mempertahankan legitimasi kebiasaan Timur mengenai Imam yang berkeluarga.[39]
Kardinal Stickler sendiri mengakui bahwa tidak ada sinode atau konsili Timur yang pernah mewajibkan pantang hubungan suami istri secara permanen. Namun, ia berargumen bahwa pantang mutlak adalah tradisi tidak tertulis di Timur, yang diteruskan melalui tradisi lisan.[40] Ia mengklaim bahwa tradisi ini kemudian diputus oleh Konsili Trullo, yang berkumpul tahun 691.
Konsili Trullo adalah konsili yang dipanggil oleh Kaisar Yustinus II untuk membuat suatu kanon disipliner bagi Gereja Byzantine. Konsili ini diadakan sebagai pemenuhan dari Konsili Oikumene ke 5 dan 6. Mengenai aktifitas seksual para klerus, Konsili ini setuju dengan Gereja Latin bahwa “hanya boleh ada satu perkawinan yang dilakukan sebelum tahbisan, dan perkawinan itu tidak boleh dilakukan dengan seorang janda atau wanita yang dilarang oleh hukum. Perkawinan pertama setelah tahbisan atau menikah lagi adalah tidak halal. Uskup tidak dapat lagi hidup bersama pasangan mereka, melainkan harus hidup dalam pantang permanen. Di sisi lain, istrinya harus dipelihara dan dinafkahi oleh Gereja.”[41]
Selain itu ada lagi satu perbedaan mendasar antara praktek Gereja Byzantine dan Gereja Latin, yang ditemukan dalam Kanon 13 Konsili Trullo:
“Karena kami tahu bahwa telah diturunkan sebagai peraturan Gereja Roma bahwa mereka yang dipandang layak untuk dimajukan kedalam Diakonat dan Presbiterat harus berjanji untuk tidak lagi hidup bersama isteri mereka, maka kami, memelihara aturan kuno dan kesempurnaan serta tatanan apostolik, memutuskan untuk sekarang dan seterusnya, bahwa pernikahan sah dari pria yang ada dalam tahbisan suci tidak meniadakan persatuan mereka dengan istri mereka atau mencegah mereka untuk berhubungan intim dengan isteri mereka pada waktu-waktu yang cocok.”[42]
Kanon ini secara jelas mengizinkan para imam untuk melanjutkan hubungan seksual dengan isteri mereka. Lebih jauh lagi, Konsili ini mengklaim bahwa inilah ajaran otentik para Rasul. Bagaimanapun juga, Kardinal Stickler percaya bahwa kanon ini merupakan suatu “inovasi.”[43] Dalam pandangannya kanon ini menetapkan suatu disiplin baru yang kemudian menjadi normatif di Timur.
Sebelum melanjutkan pembahasan, kita berhenti sejenak untuk membahas otoritas dan legitimasi dari Konsili Trullo. Kardinal Stickler menggambarkannya sebagai perkumpulan pemberontak yang menyimpang dari ajaran para Rasul kudus.[44] Namun sejak masa Paus Yohanes VIII, Kepausan telah menganggap kanon-kanon Trullo mengikat bagi orang-orang Kristen Byzantine, Katolik dan Ortodoks. Faktanya adalah sampai pada tahun 1949 saat Paus Pius XII mengeluarkan sebuah Hukum Kanon yang tidak lengkap (hanya parsial saja) bagi Gereja-gereja Timur, Konsili Trullo dianggap sebagai sumber yang definitif bagi hukum perkawinan orang-orang Katolik Timur dalam tradisi Byzantine.[45]
Bahkan pada masa kini pun para Paus tetap menunjukkan rasa hormat terhadap Konsili Trullo. Dalam alinea kedua Konstitusi Apostolik Sacri Canones, Paus Yohanes Paulus II secara eksplisit mengakui nilai-nilai yang dicapai oleh Konsili Trullo. Pengakuan Kepausan itu tentu tidak akan pernah diberikan kepada sebuah konsili yang menghapuskan Tradisi Apostolik yang asli. Pada kenyataannya, aturan-aturan Konsili Trullo cukup konservatif. Bahkan menurut seorang kanonis Latin yang terkenal Frederick McManus, para Bapa Konsili “sulit sekali memikirkan sebuah inovasi. Sebaliknya mereka meneguhkan suatu disiplin yang sudah ada dari masa lalu.”[46]
Namun Kardinal Stickler berkeras bahwa para Bapa Konsili sedang menciptakan inovasi. Ia percaya bahwa hal baru ini diperkenalkan dalam kanon 13 “yang merupakan dasar bagi kewajiban yang baru dan definitif mengenai selibat dalam Gereja-gereja Oriental.” [47] Walaupun begitu, Kardinal merasa masih menemukan jejak persyaratan asli selibat yang mutlak dalam peraturan itu sendiri. Misalnya, ia menulis bahwa “sungguh sulit dimengerti mengapa Gereja Timur masih mempertahankan persyaratan bahwa mereka yang akan ditahbiskan hanya boleh menikah sekali seumur hidup. Sebagaimana telah dibahas, hal ini hanya mungkin dalam kerangka komitmen pantang mutlak setelah tahbisan.” [48]
Sebenarnya ada penjelasan yang jauh lebih sederhana mengenai persyaratan ini. Dalam tradisi teologi Timur, pernikahan diyakini bersifat tetap. Sangat tetap, sehingga, ikatan perkawinan ini meluas sampai ke hidup setelah kematian. Maka pernikahan kembali, bahkan setelah kematian pasangan, dianggap tidak ideal. [49] Orang yang memasuki pernikahan kedua seringkali dipandang rendah.[50] Karena kepercayaan ini maka klerus disyaratkan hanya dapat menikah sekali. Mereka diharapkan menjadi contoh bagi orang awam dalam kesetiaan pernkawinan.[51]
Setelah memeriksa bukti-bukti dari Kekristenan Timur, Kardinal Stickler menyimpulkan bahwa “tradisi Gereja Katolik di Barat adalah tradisi yang asli. Fakta-fakta bahwa tradisi Barat tetap murni bisa dilacak kembali ke para Rasul dan didasarkan pada kesadaran yang hidup dalam seluruh Gereja awali.”[52] Bagi saya, pernyataan ini jauh dari bukti-bukti, sebagaimana dinyatakan oleh salah satu kritik terhadap karya Cochini “saat dihadapkan dengan masalah selibat klerus, obyektifitas sejarah berubah menjadi sesuatu yang tidak jelas.”[53]
Jika seseorang hendak membuka kembali tradisi yang diajarkan oleh para Rasul, kesaksian dari Gereja-gereja Timur sangatlah penting. Menurut tradisi hanya satu dari dua belas Rasul yang pergi ke Barat, Petrus. Sebelas lainnya mendirikan komunitas-komunitas Kristen di berbagai wilayah Timur, sebagaimana juga dilakukan oleh Petrus dan Paulus sebelum perjalanan mereka ke Barat. Berbagai Sinode dan Konsili telah diadakan di Timur sebelum Sinode Trullo, banyak diantara sinode dan konsili itu menjelaskan kewajiban-kewajiban Klerus. Semua sinode itu tidak pernah menyebutkan pantang mutlak sebagai persyaratan bagi Imam atau Diakon.[54] Sesungguhnya walaupun tidak tertulis, tradisi Apostolik ini sangat kuat di Timur.
Hal yang lebih penting adalah, Kardinal Stickler mengatakan bahwa Sinode Trullo “merupakan dasar bagi kewajiban yang baru dan definitif mengenai selibat dalam Gereja-gereja Timur.” [55] Namun, Sinode Trullo hanya mempengaruhi Gereja-gereja Timur dari tradisi Byzantine. Berbagai Gereja-gereja Timur lainnya tidak punya urusan dengan Sinode Trullo, dan tidak terikat oleh kanon-kanonnya.[56] Sebagai gambaran, ada banyak Gereja-gereja Timur yang tidak terlibat dalam Sinode Trullo namun memiliki tradisi penahbisan pria berkeluarga dengan tetap mempertahankan hubungan perkawinan yang normal dengan istri mereka: Gereja Assyria Timur, Gereja Armenia Apostolik, Gereja Ortodoks Koptik, Gereja Ortodoks Syria, Gereja Ortodoks Malankara, Gereja Ortodoks Eritrea, dan Gereja Katolik Maronite. Kesaksian Gereja Katolik Maronite sangat penting, terutama karena Gereja ini tidak pernah memutuskan persekutuan dengan Roma, namun tetap mempertahankan penahbisan pria berkeluarga sampai hari ini.
Semua Gereja-gereja ini tidak punya urusan dengan Sinode Trullo. Namun, mereka semua menjalankan disiplin yang sama dengan Gereja-gereja dari tradisi Byzantine. Lebih lagi, mereka semua mengklaim bahwa tradisi ini diwariskan oleh para Rasul kepada mereka. Bukti yang jauh lebih meyakinkan adalah kenyataan bahwa sepanjang milenium pertama Gereja-gereja ini seringkali terlibat perselisihan satu sama lain, dan hubungan antara mereka seringkali tidak baik. Jika salah satu dari Gereja-gereja ini telah meninggalkan tradisi Apostolik, maka yang Gereja-gereja yang lain akan segera mengecamnya.[57] Maka jelaslah, bahwa kesaksian suara bulat (karena tak pernah ada masalah mengenai penahbisan pria berkeluarga) dari seluruh Kekristenan Timur menentang kewajiban selibat sebagai tradisi yang diajarkan oleh para Rasul.
Bagian IV: Dasar Teologis
Pada bagian akhir bukunya Kardinal Stickler bergerak melampaui argumen historis yang telah ia gunakan sampai sejauh ini. Sekarang ia berusaha menjelaskan dasar teologis di balik selibat klerus. Dia mengutip sejumlah ayat Kitab Suci di mana ia membangun dasar pernyataannya. Dalam surat pertama kepada orang di Korintus, St. Paulus menulis, “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa”[58]. Menurut sang Kardinal, “Jika pantang hubungan intim dikenakan kepada awam agar mereka dapat memiliki waktu untuk berdoa, betapa lebihnya kewajiban para imam, yang berada dalam harus siap dalam keadaan murni pada saat mempersembahkan kurban dan melayani baptisan.”[59]
Anehnya, saat mengutip kalimat ini dari Kitab Suci, sang Kardinal mengabaikan bagian kedua ayat ini. Dalam paruh kedua ayat ini St. Paulus memperingatkan supaya pasangan “kembali hidup bersama, supaya iblis jangan menggodai kamu karena kamu tidak tahan bertarak.”[60] Maka, St. Paulus sesungguhnya memperingatkan pasangan agar jangan berpantang hubungan intim secara permanen dalam perkawinan. Dalam terang pernyataan ini, mustahillah para Rasul akan menuntut pantang hubungan intim yang sempurna dari pasangan suami istri, bahkan jika sang suami adalah imam tertahbis.
Kardinal Stickler percaya bahwa alasan utama bagi selibat klerus adalah “kefektifan doa syafaat oleh pelayan tertahbis.” Hal ini “berpusat pada penyerahan diri kepada Allah, pada kemungkinan berdoa terus-menerus dan sepenuhnya bebas dalam pelayanan pastoral dan pelayanan Gereja.”[61] Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan penting: Mengapa syafaat seseorang menjadi kurang efektif karena dia berhubungan badan dalam perkawinannya?[62] Kardinal Stickler tidak menyediakan jawaban apapun atas pertanyaan ini.
Kardinal Stickler juga mengemukakan argumen selibat berdasarkan teladan Kristus. Bahwa Imam menjadi simbol dari pribadi Kristus, dan menjadi Kristus yang lain. Kardinal menulis “Kristus menghendaki jiwa, hati dan tubuh Imam-imam-Nya.” Kristus “menghendaki kemurnian dan pantang sebagai tanda bahwa Imam tidak lagi hidup menurut daging melainkan menurut Roh.”[63] Sementara hal ini sungguh selaras dengan tradisi teologis Latin, dalam tradisi Timur orang yang secara lebih sempurna menyimbolkan Kristus bukanlah para Imam, melainkan para biarawan dan biarawati. Dalam tradisi Timur pembagian yang ekslusif bukanlah antara Imamat dan Pernikahan, melainkan antara Pernikahan dan Hidup Membiara.[64]
Saat Kardinal Stickler menutup bukunya, ia mengajukan sebuah pertanyaan mendasar: “Kita harus introspeksi jika selibat didasarkan pada “kegunaannya”. Tetapi, sesungguhnya selibat itu sungguh perlu dan tidak terpisahkan dari imamat.”[65] Tanpa diragukan ia ingin kita menjawab pertanyaan ini dengan nada setuju. Tetapi hal itu tidaklah mungkin dalam terang ajaran Gereja Katolik sekarang ini.
Kardinal Stickler berusaha membuktikan terlalu jauh. Jika ia sukses menunjukkan bahwa kewajiban selibat bagi Klerus adalah tradisi apostolik, maka hal ini berarti Gereja tidak punya otoritas untuk mengubahnya. Kenyataannya adalah Gereja Katolik sudah mengubah disiplin ini secara cukup signifikan. Hari ini Gereja Latin menahbiskan pria berkeluarga menjadi Diakon secara rutin. Dan pria-pria ini tidak diminta untuk berpantang dari hubungan intim dalam pernikahannya, tetapi semua teks yang digunakan Kardinal diarahkan untuk menyimpulkan bahwa ada pantang hubungan intim yang mutlak bagi para Diakon dan isteri mereka. Lebih lagi, teks-teks itu juga mengklaim sebagai bagian dari tradisi apostolik. Juga, dalam beberapa dekade ini Gereja Latin telah menahbiskan ratusan mantan klerus Episkopal sebagai Imam. Dan lagi, para pria ini tidak perlu berhenti berhubungan badan dengan isteri mereka.
Gereja Katolik juga telah mengakui secara resmi legitimasi penuh dari tradisi penahbisan pria berkeluarga di Timur.[66] Bukti atas hal ini tidak perlu jauh-jauh selain dari Hukum Kanon bagi Gereja-gereja Timur yang diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1990. Kanon 373 secara otoritatif menyatakan bahwa “kebiasaan suci penahbisan pria berkeluarga dalam Gereja perdana dan dalam tradisi Gereja-gereja Timur yang berlangsung berabad-abad harus dipegang penuh hormat.”[67] Legitimasi disiplin ini juga diakui dalam Katekismus Gereja Katolik no. 1580.
Jadi, selibat Klerus adalah sebuah disiplin yang dapat diatur dan diperintah oleh Gereja. Fakta ini menentang pernyataan bahwa kewajiban selibat ini merupakan “tradisi yang dituntut oleh para Rasul”[68] Jadi apakah selibat Klerus “sungguh perlu dan tidak terpisahkan bagi imamat?”[69] Jawabannya adalah “Tidak!”
Artikel ini pertama kali muncul dalam Jurnal Gereja-gereja Timur.
Bibliography
"African Code." In The Seven Ecumenical Councils, edited by Philip Schaff and Henry Wace. Grand Rapids, MI: Eerdman's, 1991.
Balducelli, Roger. "The Apostolic Origins of Clerical Continence: A Critical Appraisal of a New Book." Theological Studies 43, no. 4 (1982): 693-705.
Cahill, Lisa Sowle. Sex, Gender, and Christian Ethics. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
Callam, Daniel. Review of Clerical Celibacy in East and West. Journal of Theological Studies 41 (1990): 725-29.
Cholij, Roman M.T. "Celibacy, Married Clergy, and the Oriental Code." Eastern Churches Journal 3, no. 3 (1996): 91-117.
""". "An Eastern Catholic Married Clergy in North America." Eastern Churches Journal 4, no. 2 (1997): 23-58.
Code of Canons of the Eastern Churches. Translated by Canon Law Society of America. Washington: Canon Law Society of America, 1990.
"Council in Trullo." In The Seven Ecumenical Councils, edited by Philip Schaff and Henry Wace. Grand Rapids, MI: Eerdman's, 1991.
Coyle, J. Kevin. "Recent Views on the Origins of Clerical Celibacy: A Review of the Literature from 1980-1991." Logos 34 (1993): 480-531.
Erickson, John H. "The Council in Trullo: Issues Relating to the Marriage of Clergy." Greek Orthodox Theological Review 40, no. 1-2 (1995): 183-99.
Graham, James K. "Compulsory Celibacy and the Disruption of Intimacy." Eastern Churches Journal 4, no. 2 (1997): 59-72.
Hastings, Adrian. "The Origins of Priestly Celibacy." Heythrop Journal 24 (1983): 171-77.
Keleher, Serge. Email, March 25, 2000.
Mackin, Theodore. Divorce and Remarriage. New York: Ramsey, 1984.
McManus, Frederick. "The Council in Trullo: A Roman Catholic Perspective." Greek Orthodox Theological Review 40, no. 1-2 (1995): 79-96.
Miller, Michael J. "Only Men Can Be Deacons." National Catholic Register, December 9-15 2001, 9.
Shivanandan, Mary. Crossing the Threshold of Love. Wahington: Catholic University of America Press, 199.
Slesinski, Robert. "Lex Continentia: The Need for an Orthodox Response." Saint Vladimir's Theological Quarterly 37, no. 1 (1993): 90-97.
Stickler, Alfons Maria Cardinal. The Case for Clerical Celibacy. Translated by Brian Ferme. San Francisco: Ignatius Press, 1995.
Endnotes
[1] Alfons Maria Cardinal Stickler, The Case for Clerical Celibacy, trans. Brian Ferme (San Francisco: Ignatius Press, 1995), 80.
[2] Ibid., back cover.
[3] Ibid., 7.
[4] Ibid., 91.
[5] Ibid., 13.
[6] Ibid., 12.
[7] Ibid., 14.
[8] Ibid., 8.
[9] Ibid.
[10] Michael J. Miller, "Only Men Can Be Deacons," National Catholic Register, December 9-15 2001.
[11] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 18.
[12] Canon 33 of Elvira, quoted in Ibid., 22.
[13] Ibid., 23.
[14] Daniel Callam, review of Clerical Celibacy in East and West, Journal of Theological Studies 41 (1990): 725.
[15] J. Kevin Coyle, "Recent Views on the Origins of Clerical Celibacy: A Review of the Literature from 1980-1991," Logos 34 (1993): 499.
[16] Canon 2 of Carthage, quoted in Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 24.
[17] Ibid.
[18] Roger Balducelli, "The Apostolic Origins of Clerical Continence: A Critical Appraisal of a New Book," Theological Studies 43, no. 4 (1982): 693.
[19] Coyle, "Recent Views on the Origins of Clerical Celibacy: A Review of the Literature from 1980-1991," 488.
[20] "African Code," in The Seven Ecumenical Councils, ed. Philip Schaff and Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers (Grand Rapids, MI: Eerdman's, 1991), 454.
[21] Serge Keleher, Email, March 25, 2000.
[22] Lisa Sowle Cahill, Sex, Gender, and Christian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 133.
[23] Ibid., 134.
[24] See Ibid., 129-41.
[25] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 30.
[26] Epist. 10 2:6, quoted in Coyle, "Recent Views on the Origins of Clerical Celibacy: A Review of the Literature from 1980-1991," 494.
[27] For an overview of the Catholic Church"s present understanding of marriage and sexuality, which is overwhelmingly positive, see Mary Shivanandan, Crossing the Threshold of Love (Wahington: Catholic University of America Press, 199).
[28] Coyle, "Recent Views on the Origins of Clerical Celibacy: A Review of the Literature from 1980-1991," 495.
[29] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 31-32.
[30] Ibid., 40.
[31] Ibid., 66.
[32] Ibid., 42.
[33] Ibid., 54.
[34] Ibid., 51.
[35] Coyle, "Recent Views on the Origins of Clerical Celibacy: A Review of the Literature from 1980-1991," 485.
[36] Ibid.
[37] Ibid.: 502.
[38] Robert Slesinski, "Lex Continentia: The Need for an Orthodox Response," Saint Vladimir's Theological Quarterly 37, no. 1 (1993): 96.
[39] See Roman M.T. Cholij, "An Eastern Catholic Married Clergy in North America," Eastern Churches Journal 4, no. 2 (1997).
[40] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 77.
[41] Ibid., 72-73.
[42] "Council in Trullo," in The Seven Ecumenical Councils, ed. Philip Schaff and Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers (Grand Rapids, MI: Eerdman's, 1991), 371.
[43] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 80.
[44] Ibid., 75-76.
[45] See Frederick McManus, "The Council in Trullo: A Roman Catholic Perspective," Greek Orthodox Theological Review 40, no. 1-2 (1995).
[46] Ibid.: 80.
[47] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 77.
[48] Ibid., 79-80.
[49] Both the Eastern and Western Church Fathers taught that a single marriage should be the norm for Christians, even after the passing away of a spouse. For an overview of the Patristic texts on the subject, see Theodore Mackin, Divorce and Remarriage (New York: Ramsey, 1984).
[50] John H. Erickson, "The Council in Trullo: Issues Relating to the Marriage of Clergy," Greek Orthodox Theological Review 40, no. 1-2 (1995): 186.
[51] Slesinski, "Lex Continentia: The Need for an Orthodox Response," 94.
[52] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 77.
[53] Balducelli, "The Apostolic Origins of Clerical Continence: A Critical Appraisal of a New Book," 694.
[54] Adrian Hastings, "The Origins of Priestly Celibacy," Heythrop Journal 24 (1983): 174.
[55] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 77.
[56] Keleher.
[57] Ibid.
[58] I Corinthians 7:5, NAB.
[59] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 31.
[60] I Corinthians 7:5, NAB.
[61] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 99.
[62] Balducelli, "The Apostolic Origins of Clerical Continence: A Critical Appraisal of a New Book," 701.
[63] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 97.
[64] James K. Graham, "Compulsory Celibacy and the Disruption of Intimacy," Eastern Churches Journal 4, no. 2 (1997): 62.
[65] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 106.
[66] See Roman M.T. Cholij, "Celibacy, Married Clergy, and the Oriental Code," Eastern Churches Journal 3, no. 3 (1996).
[67] Code of Canons of the Eastern Churches, trans. Canon Law Society of America (Washington: Canon Law Society of America, 1990), Canon 373.
[68] Stickler, The Case for Clerical Celibacy, 91.
[69] Ibid., 106.
Diterjemahkan oleh Daniel Pane.
0 komentar:
Posting Komentar