Sabtu, 01 Maret 2014

Imam Yang Menikah

Keterangan foto: Romo Volovetskiy, seorang Imam Katolik Ukraina bersama istri dan anak-anaknya.

T: Mengapa dalam Ritus Timur imam diizinkan menikah sedangkan dalam Ritus Barat tidak diizinkan? Saya memahami kesulitan praktis yang dihadapi oleh imam-imam yang menikah dalam usaha memadukan dedikasi kepada keluarganya sendiri dan didedikasi kepada parokinya. Tetapi, apakah ada pertimbangan lain yang harus diperhitungkan?


J: Biarlah kami mulai dengan mengatakan bahwa kedua tradisi, yakni tradisi imam selibat dalam Ritus Latin dan tradisi imam yang menikah dalam aneka Ritus Timur sama sahnya, dan keduanya sudah sangat tua. Kedua tradisi itu disahkan sepenuhnya oleh satu Gereja, yang dikepalai oleh Paus. Pada saat yang sama, isu mengenai asal-usul dan perkembangan selibat imamat sungguh sangat kompleks dan masih merupakan pokok perdebatan di kalangan para sejarawan dan pakar teologi; maka, di sini saya tidak mau terjebak dalam perdebatan itu.

Gereja-Gereja Katolik Timur – Maronit, Melkit, Ukraina, Kaldea, Armenia dan lain-lain – memiliki tradisinya sendiri; tradisi-tradisi itu sah dan harus mendapat penghormatan yang sama seperti tradisi-tradisi Ritus Romawi. Gereja-Gereja itu berada dalam persekutuan penuh dengan Roma dan merupakan bagian utuh dari satu Gereja Katolik yang satu. Mereka tidak diharuskan untuk meninggalkan satu pun dari kebiasaan mereka yang sah, seolah-seolah harus mengambil alih tradisi Ritus Romawi.

Perbedaan antara tradisi-tradisi Ritus Timur dan tradisi-tradisi Ritus Roma tidak menghalangi kemungkinan untuk menerima orang-orang yang menikah ke dalam imamat; perbedaan itu juga mencakup perbedaan—perbedaan dalam liturgy, struktur dan tata hierarki Gereja, proses pemilihan uskup, praktik sacramental, dan lain-lain.

Kenyataan bahwa Gereja-Gereja Timur itu dibiarkan tetap mengizinkan imam-imam untuk menikah sama sekali bukanlah suatu konsensi, tetapi lebih merupakan kesinambungan dari suatu tradisi yang telah dihayati terus-menerus sejak abad-abad awal. Di samping itu, tidak boleh kita lupakan bahwa banyak juga laki-laki yang menapaki jenjang klerus di Gereja-Gereja Timur dengan sukarela memilih untuk merengkuh selibat. Baik dalam tradisi Timur maupun tradisi Barat tetap dipertahankan bahwa begitu seorang selibat ditahbiskan menjadi diakon, ia tidak lagi bebas untuk menikah. Dengan demikian, kalau ia ingin menikah, ia harus melakukannya sebelum ditahbiskan. Demikian juga, kalau istrinya meninggal, seorang imam tidak bebas untuk menikah lagi.
Di samping itu, semua Gereja Timur, baik Katolik maupun non-Katolik, tetap mempertahankan selibat klerus dengan penghargaan yang tinggi, dan semua Gereja memilih para uskup hanya dari kalangan klerus yang selibat.

Harus dipahami bahwa tidaklah tepat untuk mengatakan bahwa imam-imam Ritus Latin ”tidak diizinkan” untuk menikah, solah-olah selibat merupakan suatu beban yang sengaja dipaksakan atas mereka. Lebih tepat dikatakan bahwa tradisi Romawi melihat karunia dan karisma selibat sebagai bagian utuh dari panggilan imamat. Dalam arti ini, seorang laki-laki, yang ingin menjadi imam, dengan sukarela merengkuh selibat sebagai bagian utuh dari panggilannya, sama seperti seorang perempuan yang ingin menjadi suster biarawati merengkuh selibat dengan sukarela. Selibat tidak dipaksakan atas mereka-mereka memilihnya dengan bebas.

Gereja Romawi tidak akan melonggarkan tuntutan selibatnya seolah-olah dengan demikian dapat memperoleh cukup imam untuk masa depan. Mereka yang berpikir demikian, hendaknya sadar bahwa pada saat ini, di seluruh dunia, ada 100.000 seminaris yang sedang belajar untuk menjadi imam, dibandingkan dengan jumlah imam yang hanya 400.000. Perbandingan satu orang seminaris untuk setiap empat imam merupakan tanda yang sangat baik untuk masa depan, dan para seminaris itu tahu bahwa mereka merengkuh selibat dengan sukarela. Selama masa kepausan Paus Yohanes Paulus II saja, jumlah seminaris meningkat dua kali lipat. Masa depan Gereja sungguh cerah kalau kita melihat Gereja seluas dunia sebagai satu keseluruhan.

Selibat imamat dapat dipahami dengan paling baik, bukan dalam kaitan dengan konsekuensi praktisnya bahwa ia tidak terikat oleh kewajiban merawat keluarga di samping keluarga paroki, tetapi sebagai konsekuensi logis dari menerima undangan Kristus untuk ikut ambil bagian dalam perutusan-Nya untuk menyelamatkan jiwa-jiwa lewat imamat. Selibat adalah suatu jawaban atas dasar kasih yang total kepada undangan dari Dia yang telah memberikan diri-nya secara total kepada kita dan telah mengasihi kita lebih daripada kita dapat mengasihi diri kita sendiri.

Sumber : Buku Question Time 2 — Ketika Iman Membutuhkan Jawaban (Rm. John Fladder)

0 komentar:

Posting Komentar