Senin, 16 Mei 2011

HATI ALLAH YANG HANCUR (BAG. II)

SAMBUNGAN...

Saya merasa sedikit terganggu karena sudah tidak menceritakan yang sebenarnya, tetapi saya tidak berani mengatakan bahwa saya terlibat dalam membantu orang yang sengsara di jantung kota Amsterdam. Hal itu pasti akan memancing pertanyaan-pertanyaan lain.

"Boleh saya duduk di sebelah Anda?" ia bertanya sambil melangkahi kaki-kaki saya.Tampaknya ia mengabaikan usaha saya untuk tidak mengobrol dengannya. Mulutnya bau alkohol dan ludahnya memercik ketika ia berbicara, membasahi muka saya seperti hujan gerimis.

Sikapnya yang menjengkelkan itu membuat saya amat kesal. Ketidakpekaannya telah menggagalkan semua rencana saya untuk menikmati pagi yang tenang ini. "Oh Tuhan," saya mengeluh dalam hati, "Tolonglah saya"

Percakapan kami mulanya berjalan dengan lamban. Saya menjawab beberapa pertanyaan tentang pekerjaan kami di Amsterdam dan saya mulai bertanya-tanya mengapa laki-laki ini sangat ingin berbicara dengan saya. Ketika percakapan semakin berlanjut, saya mulai sadar bahwa sayalah yang kurang peka.

"Isteri saya seperti Anda," katanya kemudian. "Ia berdoa bersama anak-anak, menyanyikan lagu untuk mereka dan mengajak mereka ke gereja. "Sesungguhnya", katanya perlahan dengan mata yang mulai basah, "Dialah satu-satunya kawan sejati yang pernah saya punyai"

"Pernah?" tanya saya. "Mengapa Anda berkata tentangnya seperti itu?"

"Dia telah pergi." Air mata mulai mengalir membasahi pipinya. "Ia meninggal tiga bulan yang lalu ketika melahirkan anak kami yang kelima."Mengapa?", tanyanya dengan terisak, "mengapa Allahmu mengambilnya pergi? Isteri saya begitu baik. Mengapa bukan saya? Mengapa justru dia? Sekarang pemerintah mengatakan saya tidak cocok untuk mengurus anak-anak saya sendiri, dan mereka juga pergi."

Saya memegangi tangannya dan kami menangis bersama. Betapa egoisnya saya! Saya hanya memikirkan kebutuhan saya untuk beristirahat padahal laki-laki ini sangat membutuhkan pertolongan.

Ia melanjutkan kisahnya pada saya. Setelah isterinya meninggal, seorang pekerja sosial menganjurkan agar anak-anaknya di urus oleh negara. Ia begitu sedih sehingga tidak dapat bekerja, dan iapun kehilangan pekerjaannya. Hanya dalam beberapa minggu ia kehilangan isterinya, anak-anaknya dan pekerjaannya. Karena liburan tinggal beberapa minggu lagi, ia tidak tahan untuk merayakan natal seorang diri. Sekarang ia sedang berusaha menghilangkan kesedihannya.

Ia terlalu pahit untuk dihibur. Ia telah dibesarkan oleh empat ayah tiri yang berbeda dan ia tidak pernah mengenal ayahnya yang sebenarnya. Mereka semua adalah laki-laki yang keras. Ketika saya menyinggung Allah, ia bereaksi dengan pahit, "Allah?" katanya, "Saya pikir kalau memang ada Allah, Dia pasti monster yang kejam! Bagaimana mungkin Allah yang penuh kasih melakukan ini terhadapku?"

BERSAMBUNG...

0 komentar:

Posting Komentar